JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) mengambil langkah tegas terhadap penyedia layanan infrastruktur internet global, Cloudflare. Pemerintah tidak segan-segan melakukan pemutusan akses jika perusahaan tersebut tidak menunjukkan itikad baik dalam membantu pemberantasan situs judi online (judol) di Indonesia.
Direktur Jenderal Kemenkomdigi, Alexander Sabar, menyoroti peran Cloudflare yang dinilai masih membiarkan layanannya digunakan secara masif oleh operator judi online. Ia mendesak agar penyedia Content Delivery Network (CDN) tersebut lebih selektif dan kooperatif.
“Cloudflare seharusnya bisa bekerja sama. Mereka tidak perlu menerima semua permintaan penggunaan layanan CDN. Jika ada yang merugikan Indonesia, mestinya bisa ditolak. Ini konteksnya moderasi, artinya ada penyaringan,” tegas Alexander di Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2025), sebagaimana dikutip dari Antara.
Dominasi Cloudflare dalam Infrastruktur Situs Judi Online
Kekhawatiran Kemenkomdigi bukan tanpa dasar. Berdasarkan data penanganan situs ilegal, infrastruktur Cloudflare menjadi “tulang punggung” bagi mayoritas situs judi online yang beroperasi di Indonesia.

Dalam sampel penindakan terhadap 10.000 situs judol pada periode 1–2 November 2025, ditemukan fakta mengejutkan:
- Lebih dari 76% situs tersebut menggunakan layanan Cloudflare.
- Layanan ini dimanfaatkan untuk menyembunyikan alamat IP asli.
- Teknologi Cloudflare digunakan untuk mempercepat perpindahan domain (mirroring) guna menghindari pemblokiran rutin oleh pemerintah.
Baca Juga: Mengapa Situs Judol Masih Merajalela Meski Terus Diblokir?
Hal ini menjadikan upaya pemberantasan judi online menjadi lebih menantang karena pelaku dapat dengan mudah “bersembunyi” di balik infrastruktur global tersebut.
Belum Terdaftar sebagai PSE, Cloudflare Diberi Waktu 14 Hari
Selain isu konten negatif, Alexander mengungkapkan masalah administrasi fatal yang dilakukan Cloudflare. Perusahaan teknologi raksasa ini ternyata masuk dalam daftar 25 Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang belum terdaftar secara resmi di Kemenkomdigi.
Padahal, pendaftaran ini bersifat wajib sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat (PM Kominfo 5/2020).
Pemerintah memberikan ultimatum tegas:
“Cloudflare diberikan waktu hingga 14 hari kerja untuk memenuhi kewajiban pendaftarannya.”
Jika tenggat waktu tersebut diabaikan, Kemenkomdigi siap menjatuhkan sanksi administratif terberat berupa pemutusan akses layanan (pemblokiran) di wilayah Indonesia, sesuai Pasal 7 dalam regulasi tersebut.
Pengguna Layanan Diminta Siapkan Opsi Alternatif
Mengingat besarnya potensi pemblokiran ini, Alexander memberikan peringatan dini kepada para pemilik situs web legal, pelaku bisnis, dan pengembang aplikasi di Indonesia yang saat ini menggunakan jasa Cloudflare.
“Dengan adanya peringatan ini, setidaknya para pengguna Cloudflare sudah bisa mulai mencari opsi lain,” imbaunya.
Langkah ini disarankan agar operasional bisnis digital di tanah air tidak terganggu secara tiba-tiba jika pemerintah benar-benar harus menutup akses ke Cloudflare.
Kendati demikian, Alexander menegaskan bahwa pintu diskusi masih terbuka lebar. Pemerintah Indonesia sangat terbuka untuk bekerja sama dengan platform global manapun, asalkan mereka menghormati kedaulatan hukum digital Indonesia.
“Kami selalu siap bekerja sama, tetapi kepatuhan terhadap aturan adalah batas yang harus dihormati. Menjaga ruang digital Indonesia tetap aman merupakan tanggung jawab bersama,” pungkasnya.
Sumber: Antara, Kemenkomdigi
*wew!










