Meski Arsenal fokus mengembangkan talenta muda, Manchester United masih merasakan dampak dari keputusan mereka merekrut bintang Chile, Alexis Sanchez dengan gaji tinggi pada 2018.
Ketika Arsenal dan Manchester United berhadapan di Piala FA pada 12 Januari, peristiwa tersebut menandai hampir tujuh tahun sejak salah satu kesepakatan transfer paling disayangkan dalam sejarah Liga Inggris. Keputusan tersebut tak hanya berdampak jangka panjang bagi kedua klub, namun juga meninggalkan noda pada karier para pemain yang terlibat.
Masa-masa Kelam di Manchester
Saat bergabung dengan Old Trafford pada 22 Januari 2018, Alexis Sanchez dianggap sebagai salah satu pemain terbaik dunia. Namun hanya 19 bulan kemudian, ketika dia meninggalkan Old Trafford menuju Inter Milan, dia menjadi simbol kegagalan dan kekacauan di Manchester United.
Kisah masa buruk Sanchez di Manchester telah diceritakan berulang kali. Dia sendiri mengungkapkan pada tahun 2020 bahwa dia ingin meninggalkan klub hanya dalam satu hari.
“Saya ingat latihan pertama saya. Setelah latihan berakhir, saya pulang ke rumah dan memberi tahu keluarga dan agen saya: ‘Apakah ada cara untuk memutuskan kontrak saya dan kembali ke Arsenal?'” ujar Sanchez.
Komentar ini sebagian mengungkap keadaan emosional Sanchez saat itu, sementara statistik memperjelas penurunan kinerjanya. Di musim terakhirnya di Arsenal, Sanchez mencetak 30 gol dalam 51 pertandingan. Namun di Manchester United, ia hanya mencetak dua gol dalam 27 pertandingan di satu-satunya musim penuhnya.
Kini berusia 36 tahun, Sanchez telah mendapatkan kembali performa terbaiknya setelah hari-hari sulit di Manchester. Dia kembali ke Udinese, di mana membuat namanya terkenal di Eropa, setelah memenangkan dua kejuaraan Serie A Liga Italia bersama Inter Milan. Pada musim 2022/23, bintang asal Chile itu bahkan mendapat predikat sebagai pemain luar biasa Marseille.
Namun, bagi Manchester United, konsekuensi kesepakatan pada tahun 2018 masih menghantui hingga saat ini. Keputusan untuk memberi Sanchez gaji hingga 560.000 poundsterling per minggu menimbulkan beban yang sangat besar sehingga menyebabkan tim harus membayar mahal baik secara finansial maupun mental.
Kontrak Sanchez (yang kemudian membutuhkan tambahan 9 juta pound untuk diakhiri) merusak struktur gaji Manchester United. Hal ini menetapkan standar baru untuk negosiasi dan menyebabkan seluruh sistem gaji meroket. Pemain yang menerima sekitar 100.000 poundsterling per minggu mulai meminta 200.000 pound, sedangkan mereka yang menerima 200.000 pound mengharapkan 300.000 pound.
Hanya dalam waktu 18 bulan, Manchester United terpaksa menaikkan gaji Marcus Rashford menjadi sekitar 250.000 pound per minggu dan menjadikan David de Gea menjadi penjaga gawang dengan bayaran tertinggi di dunia dengan angka 375.000 pound per minggu. Bahkan pemain yang kurang penting seperti Victor Lindelof menegosiasikan ulang kontrak mereka dengan peningkatan gaji yang signifikan.
Contoh bagus lainnya adalah negosiasi pembaruan dengan Ander Herrera. Sang gelandang menuntut gaji sebesar 350.000 pound per minggu, memaksa klub mempertimbangkan untuk menggandakan gajinya untuk mempertahankannya. Namun pada akhirnya, Herrera tetap hengkang secara gratis dan bergabung dengan Paris Saint-Germain pada Juli 2019.
Kontrak Sanchez tidak hanya menimbulkan kekacauan finansial tetapi juga memecah persatuan di ruang ganti. Ketika seorang pemain menerima gaji berkali-kali lipat lebih tinggi dari rekan satu timnya, dia harus tampil sesuai ekspektasi. Namun, Sanchez tak memenuhi syarat itu.
Kesalahan ini tidak menjadi pelajaran berharga, namun juga terulang di tahun-tahun berikutnya. Sejak 2018, Manchester United terus merekrut pemain-pemain tua dengan gaji tinggi seperti Edinson Cavani, Raphael Varane, Cristiano Ronaldo dan yang terbaru Casemiro. Tak satu pun dari mereka menawarkan nilai yang memadai, dan kini Manchester United sedang mencoba mencari cara untuk menjual Casemiro untuk meringankan beban keuangan bulan ini.
Adaptasi Arsenal
Sebaliknya, Arsenal juga mengalami kendala finansial usai kehilangan Sanchez. Beberapa hari kemudian, mereka memberi Mesut Ozil kontrak senilai 350.000 poundsterling per minggu – sebuah keputusan yang juga tidak terlalu berhasil. Namun, The Gunners cepat memetik pelajaran meski harus mengeluarkan banyak biaya.
Alih-alih membiarkan gaji Ozil meningkatkan biaya tim, Arsenal melakukan serangkaian langkah tegas, melikuidasi kontrak pemain tua dengan bayaran tinggi, dan fokus mengembangkan talenta muda dengan harga gaji lebih rendah.
Sebelum musim panas ini, ketika Manchester United mulai mengubah strateginya, rata-rata usia rekrutan baru di Old Trafford sejak 2020 adalah sekitar 27 tahun. Sementara di Arsenal, angkanya kurang dari 25 tahun.
Bagaimana Alexis Sanchez akan dikenang? Bagi Manchester United, dia selamanya akan menjadi simbol kekacauan finansial. Namun di Arsenal, ceritanya berbeda. Meski tidak populer di kalangan rekan satu timnya, Sanchez tetap merebut hati para penggemarnya berkat gaya bermainnya yang murah hati dan spontan.
Penggemar Arsenal pasti berharap memiliki pemain seperti dia saat ini – pemain sayap yang bisa menciptakan keajaiban, mencetak gol dari situasi apa pun, dan menciptakan peluang dengan teknik yang terampil.
Bakat seperti itu tidak mudah ditemukan, dan itu pula yang menjadi alasan mengapa klub-klub papan atas Liga Inggris saat ini fokus berburu pemain muda yang potensial. Kesepakatan besar dengan pemain yang sedang berada di puncak performanya sering kali membawa risiko tinggi, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki kesalahan dari keputusan yang tidak bijaksana.