Donald Trump Dicemooh di Final AS Terbuka 2025

08.09.2025
Donald Trump Dicemooh di Final AS Terbuka 2025
Donald Trump Dicemooh di Final AS Terbuka 2025

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menerima tepuk tangan dan cemoohan dari penonton saat menghadiri final AS Terbuka 2025, Senin 8 September dini hari WIB.

Menurut The Guardian, ketika layar besar di Stadion Arthur Ashe memperlihatkan Trump berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan sebelum pertandingan, terdengar tepuk tangan meriah namun segera tenggelam oleh cemoohan.

Presiden AS kemudian menanggapi dengan senyum singkat. Setelah gambar Trump muncul kembali di layar lebar, sorakan cemoohan dari penonton terus bergema lebih lama. Namun, Trump tetap tenang dan terus menonton pertandingan di area VIP, bersama anggota pemerintah dan keluarga.

Presiden AS tiba di stadion lebih dari satu jam sebelum pertandingan antara Carlos Alcaraz dan Jannik Sinner dimulai. Kehadirannya juga menyebabkan gangguan yang signifikan. Akibat langkah-langkah keamanan yang ketat, ribuan penonton harus mengantre cukup lama untuk memasuki stadion. Ini juga pertama kalinya Trump kembali ke AS Terbuka sejak 2015.

Sebelum pertandingan, Carlos Alcaraz mengaku merasa terhormat bisa bermain di final AS Terbuka dengan Presiden AS sebagai saksi. Final AS Terbuka 2025 berakhir dengan kemenangan impresif bagi Alcaraz. Ia mengalahkan Jannik Sinner dengan skor 6-2, 3-6, 6-1, 6-4 untuk meraih gelar Grand Slam keenam dalam kariernya.

Carlos Alcaraz Terlalu OP

Memenangkan AS Terbuka 2025 menegaskan bahwa Alcaraz telah melampaui sekadar pemain – ia telah menjadi ikon, mendominasi lapangan dan menaklukkan pasar global.

Final AS Terbuka 2025, yang diakhiri dengan kemenangan Carlos Alcaraz 3-1 (6-2, 3-6, 6-1, 6-4) atas Jannik Sinner, lebih dari sekadar pertandingan tenis. Final ini bersifat simbolis, menandai transisi yang jelas dalam dunia tenis, di mana nama-nama tenar seperti Roger Federer, Rafael Nadal, atau Novak Djokovic telah surut ke masa lalu, memberi jalan bagi generasi baru – di mana Alcaraz dan Sinner menjadi pusat perhatian.

Sebuah Final di Luar Jangkauan Keahlian

Arthur Ashe menyaksikan banyak pertandingan bersejarah di pagi hari tanggal 8 September, tetapi suasana sore itu terasa istimewa. Keamanan diperketat karena kehadiran Presiden AS Donald Trump , yang menyebabkan pertandingan ditunda, dan penonton mengantre jauh sebelum mereka dapat memasuki stadion ketika pertandingan sudah dimulai. Peristiwa politik tersebut secara tidak sengaja membayangi acara olahraga, menciptakan suasana yang aneh untuk hari terpenting AS Terbuka.

Namun, begitu bola mulai bergulir di lapangan hijau, semua kebisingan di luar langsung tersapu. Alcaraz, bak seniman yang sedang asyik berkarya, memusatkan seluruh perhatiannya pada setiap pukulan. Ia mengubah final menjadi panggungnya sendiri, bermain tenis dengan begitu komplet hingga membuat lawan-lawannya tak berdaya bertahan.

Keistimewaan Alcaraz bukan hanya kekuatan atau kecepatan, tetapi kemampuannya untuk menggabungkan semuanya. Ia melakukan servis secara konsisten, memiliki pukulan forehand yang mematikan, tetapi juga siap mengubah ritme dengan slice yang rumit atau drop yang halus. Sepanjang pertandingan, Sinner terus-menerus dipaksa untuk menebak dan bereaksi, alih-alih didikte oleh permainan.

Saat dibutuhkan, Alcaraz sigap menyerang net; saat dibutuhkan, ia mundur dalam dan bertahan dengan kokoh. Keserbabisaan pemain berusia 22 tahun ini menjadikannya “kombinasi Federer – Nadal – Djokovic” dalam satu orang, tetapi dengan kepribadiannya sendiri: eksplosif, berani, dan penuh insting.

Jika Federer dan Nadal telah menorehkan kisah legendaris, Alcaraz dan Sinner perlahan membangun sejarah mereka sendiri. Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu di final Grand Slam di tahun yang sama – sebuah skenario yang belum pernah terjadi sebelumnya di era Terbuka. Alcaraz menang 2-1 dalam “tiga set” tersebut dan sekaligus meningkatkan rekor pertemuannya menjadi 10-5, dengan 7 kemenangan dalam 8 pertemuan terakhir.

Perbedaan antara kedua pemain ini mungkin terletak pada bagaimana mereka memanfaatkan momen tersebut. Sinner memiliki tembakan yang kuat dan gaya bermain yang solid, sementara Alcaraz memiliki kemampuan untuk “menghancurkan” permainan dengan kreativitasnya.

Saat situasi sedang sulit, Alcaraz-lah yang membalikkan keadaan dengan tembakan tak terduga. Kualitas inilah yang membedakan pemain bagus dari pemain hebat.

Menciptakan Sejarah di Usia 22 Tahun

Kemenangan AS Terbuka 2025 menempatkan Alcaraz kembali ke puncak peringkat dunia setelah dua tahun. Lebih penting lagi, ia telah mengantongi enam gelar Grand Slam, menjadikannya petenis termuda kedua di Era Terbuka yang mencapai tonggak sejarah tersebut, hanya di belakang Björn Borg. Di saat yang sama, Alcaraz juga merupakan petenis keempat dalam sejarah yang memenangkan lebih dari satu Grand Slam di ketiga lapangan.

Ini bukan sekadar statistik. Statistik ini menegaskan bahwa di usia 22 tahun, Alcaraz telah mencapai tonggak sejarah, dan yang menakutkan adalah bahwa hal itu baru saja dimulai. Kariernya bukan sekadar kelanjutan dari masa lalu, tetapi juga awal dari era baru – era di mana Alcaraz tidak hanya mewarisi, tetapi juga mendefinisikan ulang arti menjadi pemain nomor satu.

Dunia tenis dulu khawatir: ketika Federer, Nadal, Djokovic mundur, akankah panggung masih menampilkan pertandingan-pertandingan yang membuat seluruh dunia menahan napas? Jawabannya kini jelas. Alcaraz dan Sinner menghadirkan konfrontasi yang cukup dramatis, dengan kualitas yang cukup untuk melanjutkan nilai-nilai lama. Namun Alcaraz sendiri melakukan lebih dari itu: menaklukkan, membentuk, dan membuka babak baru bagi dunia tenis.

Enam Grand Slam di usia 22 hanyalah permulaan. Dengan karakter, fleksibilitas, dan semangat pantang menyerahnya, Alcaraz mengirimkan pesan: eranya telah dimulai, dan belum ada yang melihat batas sejati bintang ini.

Scr/Mashable