Sepak bola bukan sekadar permainan bagi Elaha Safdari dan Nazia Ali, melainkan sebuah penyelamatan dan perlawanan. Keduanya adalah pengungsi perempuan dari Afghanistan, yang menemukan kekuatan dalam sepak bola untuk mengatasi trauma mereka, berjuang demi pengakuan dan penegasan diri.
“Saya merasa benar-benar kehilangan arah,” kenang kiper Elaha Safdari, seperti dikutip dari The Guardian.
“Saya tidak mengenal siapa pun, tetapi sedikit demi sedikit, sepak bola memberi saya kekuatan dan dorongan untuk memulai lagi, memulai dari nol, membangun, melanjutkan, dan mendorong diri saya maju.”
Empat tahun lalu, Safdari, yang saat itu berusia 17 tahun, tiba di Inggris. Ia adalah bagian dari tim nasional putri Afghanistan yang dievakuasi setelah Taliban berkuasa. Di belahan dunia lain, di Australia, Nazia Ali, seorang gelandang tangguh tim nasional, juga terpaksa mengungsi saat masih kecil. Ia mengatakan sepak bola telah menyelamatkan hidupnya.
“Sepak bola adalah kebebasan saya,” katanya.
“Ketika saya memainkannya, sepak bola memberi saya harapan.”
Safdari dan Ali, meskipun berada di belahan dunia yang berbeda, memiliki ikatan yang kuat: sepak bola. Namun bagi mereka, sepak bola lebih dari sekadar permainan. Sepak bola adalah penebusan, pemberontakan, dan perjuangan tanpa henti untuk mendapatkan kembali pengakuan bagi diri mereka sendiri dan bagi jutaan perempuan yang tertinggal.
Sepak Bola adalah Kebebasan
Kisah mereka diwarnai tragedi pribadi. Nazia Ali berusia lima tahun ketika ayahnya dibunuh Taliban, dan 12 tahun ketika ibunya mengalami nasib yang sama. Ibunyalah yang mendukung impian sepak bolanya. Setelah orang tuanya meninggal, tim sepak bola menjadi keluarganya dan sepak bola menjadi perlawanannya. ” Saya menendang bola sebagai cara untuk membalas dendam kepada Taliban yang telah membawa orang tua saya pergi,” kata Ali . “Saya menemukan persaudaraan dan komunitas saya melalui sepak bola.”
Bagi Elaha Safdari, kehidupan di Inggris sungguh mengejutkan. “Saya masih kecil dan harus tumbuh dewasa dalam semalam. Sulit meninggalkan segalanya: keluarga, teman, semua koneksi. Dan kemudian menjadi pengungsi di Inggris tidaklah mudah.”
Perang di Negeri Asing
Tantangan terbesar Safdari di awal adalah kendala bahasa, yang secara langsung memengaruhi karier sepak bolanya. “Saya mengikuti uji coba dengan beberapa klub,” ujarnya. “Ada satu tim di mana para pelatih tampak cukup puas dengan penampilan saya. Namun, saya tidak bisa berbahasa Inggris, padahal saya seorang penjaga gawang. Untuk posisi saya, saya perlu banyak berkomunikasi. Saya rasa salah satu alasan mereka menolak saya adalah kendala bahasa. Menyedihkan rasanya ketika kita tahu kita berbakat, tetapi tidak bisa masuk tim.”
Ia juga menghadapi rasisme, terkadang terang-terangan, terkadang terselubung. Ia merasakan tekanan di mana-mana untuk selalu mengidentifikasi dirinya sebagai pengungsi.
“Saya menerima bahwa saya seorang pengungsi, tetapi saya terpaksa meninggalkan negara saya. Saya hanya ingin orang-orang mengerti apa yang kami alami.”
Di Australia, Nazia Ali juga mengalami kesulitan keuangan. Ketika dihubungi oleh Box Hill Club, mereka meminta biaya antara $3.000 dan $4.000. “Saya bilang saya tidak mampu karena saya tinggal sendiri dan harus kuliah,” ujarnya. “Lalu saya ceritakan situasi saya kepada mereka dan mereka menawarkan beasiswa.”
Rasa Bersalah dan Pertarungan Terbesar
Meskipun integrasi mereka bertahap, baik Safdari maupun Ali dihantui oleh trauma masa lalu dan “rasa bersalah yang besar karena selamat.”
“Saya selalu merasakan hal ini,” kata Ali . “Ketika teman-teman saya di Afghanistan mengirim pesan dan menelepon untuk meminta bantuan, saya merasa sangat sedih dan depresi.”
Safdari juga berbagi: “Sulit. Saya di sini, saya aman, saya bermain sepak bola, saya bersekolah, tetapi pikiran saya kembali ke rumah, mengkhawatirkan keselamatan orang tua dan teman-teman saya. Terkadang saya tidak bisa berkonsentrasi, bahkan ketika saya berada di lapangan.”
Dalam beberapa minggu terakhir, mereka menikmati momen-momen bahagia saat berkumpul kembali dengan rekan-rekan satu tim mereka di kamp seleksi FIFA, sebuah inisiatif untuk membentuk tim pengungsi perempuan Afghanistan. Namun, bagi para pemain, ini hanyalah batu loncatan.
Berpacu dengan Waktu
“Kami sangat berterima kasih kepada FIFA,” kata Safdari, “tetapi tujuan utama kami bukanlah menjadi tim pengungsi. Kami ingin bermain untuk tim nasional dan mewakili negara kami lagi.”
Ini adalah pertarungan terbesar mereka sejauh ini. Mereka menunjukkan ketidakadilan yang mencolok: tim sepak bola putra Afghanistan dan bahkan tim kriket putri mereka masih diizinkan bermain di pertandingan internasional, tetapi kenyataannya tidak.
Mereka mengirimkan tiga pertanyaan langsung kepada FIFA: apa yang akan terjadi pada tim pengungsi? Bagaimana para pemain yang tidak terpilih akan didukung? Dan adakah harapan tim nasional resmi akan diakui di masa mendatang? FIFA menolak berkomentar mengenai hal ini.
Waktu hampir habis. “Sepak bola ada batasnya,” kata Safdari, suaranya penuh kekhawatiran. ” Waktu hampir habis dan kita perlu itu terjadi sesegera mungkin. Saya sekarang berusia 20 tahun. Dua tahun adalah waktu yang lama untuk dilewatkan.”
Perjuangan mereka bukan hanya milik mereka. “Kita masih punya banyak rekan di Afghanistan, Pakistan, atau Iran yang menunggu bantuan,” ujarnya. “Sepak bola adalah alat saya untuk menyuarakan mereka semua, itu cara saya berjuang dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu melakukan hal-hal hebat.”
Wajar jika para pemain perempuan ingin mewakili negara mereka dan berkompetisi di ajang internasional seperti Piala Dunia Wanita . Hal ini bukan hanya sebuah pengakuan dari dunia, tetapi juga sebuah tonggak sejarah yang tak terlupakan dalam perjalanan mereka mengatasi berbagai kesulitan hidup, untuk mengejar impian mereka dengan bola bundar.
Kisah Elaha Safdari dan Nazia Ali tidak hanya menginspirasi perjalanan pribadi, tetapi juga bukti kekuatan sepak bola untuk mengubah kehidupan.
Seperti pemain Bayern München, Alphonso Davies , dan gelandang Real Madrid, Eduardo Camavinga , mereka bangkit dari kamp pengungsian untuk menunjukkan bakat dan tekad mereka untuk menang, serta membawa harapan bagi mereka yang berada di posisi mereka. Mereka berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk masa depan perempuan dan anak-anak yang haknya untuk hidup damai terabaikan.
Scr/Mashable










