Mimpi Piala Dunia sedang diubah menjadi permainan uang. Dari model NFT, harga tiket yang fluktuatif, hingga pasar tiket sekunder, FIFA telah mengubah gairah global terhadap sepak bola menjadi mesin yang mengeksploitasi emosi penggemar, dan menghasilkan uang darinya.
Ketika tiket pertama untuk Piala Dunia 2026 mulai dijual minggu lalu, jutaan penggemar bergabung dalam antrean daring hanya untuk mengetahui makna sebenarnya di balik janji presiden FIFA Gianni Infantino bahwa “seluruh dunia akan disambut” .
Tiket termurah untuk final di Stadion MetLife, dari sudut pandang yang begitu jauh hingga para pemain nyaris tak terlihat, mulai dari $2.030. Piala Dunia kini bukan lagi festival sepak bola global, melainkan mesin pencetak uang raksasa tempat emosi para penggemar diperjualbelikan.
Dari NFT ke FOMO
Kisah ini berawal dari kehebohan NFT tahun 2022. FIFA memperkenalkan platform yang memungkinkan penggemar membeli dan ” memiliki” momen sepak bola digital. Namun, ketika pasar mata uang kripto runtuh, FIFA diam-diam mengubah token tersebut menjadi sesuatu yang lain: kesempatan untuk membeli tiket Piala Dunia.
Dengan nama komersial ” Right to Buy” atau RTB, penggemar diundang untuk membeli NFT yang suatu hari nanti akan memberi mereka hak untuk membeli tiket fisik. Misalnya, token ” Finals Right” berharga hingga $999. Jika tim Anda berhasil mencapai final, Anda dapat menggunakan token tersebut untuk membeli tiket. Namun, jika tim Anda tereliminasi, token tersebut akan menjadi berkas JPEG yang tidak berguna, dan uang $999 Anda akan hilang.
Dengan demikian, FIFA menemukan cara untuk memanfaatkan antisipasi dan kecemasan para penggemar. Mereka tidak lagi menjual tiket, melainkan rasa takut ketinggalan. Para penggemar membayar hanya untuk mempertahankan harapan mendapatkan tiket ke final. Namun, FIFA kemudian mengungkapkan bahwa sebagian besar pemegang token hanya diperbolehkan membeli tiket termahal, sehingga membuat para penggemar sepak bola kecewa.
Harga Tiket Berfluktuasi
Ketika tiket akhirnya muncul, skala kenaikan harga menjadi jelas. Tiket Kategori 1 untuk semifinal harganya hampir $3.000, dan perempat final hampir $1.700. Dan itu baru harga awal.
FIFA telah mengadopsi model penetapan harga tiket dinamis , serupa dengan yang mereka terapkan pada Piala Dunia Antarklub FIFA baru-baru ini. Bayangkan seperti lonjakan harga tiket pesawat atau tarif Grab/Uber saat jam sibuk. Harga tiket Piala Dunia kini akan otomatis naik berdasarkan permintaan, menciptakan pasar yang kompleks dan hierarkis di mana hanya orang-orang tercepat dan terkaya yang dapat mengaksesnya.
Namun, yang paling memicu kemarahan adalah peran FIFA di pasar penjualan kembali. Pada Piala Dunia sebelumnya, harga jual kembali dibatasi pada harga asli. Kali ini, FIFA telah mencabut batasan tersebut dan memasuki pasar sekunder. Tiket telah terjual puluhan ribu dolar di platform penjualan kembali resmi FIFA. Satu tiket final yang awalnya seharga $2.030 dijual kembali seharga $25.000.
Lebih buruk lagi, FIFA mendapatkan keuntungan dari kedua belah pihak: 15% dari penjual dan 15% dari pembeli, yang berarti untuk setiap transaksi senilai $1.000, mereka mengambil $300. Mereka bilang ini untuk menghentikan calo, tetapi kenyataannya justru melegitimasi dan mendapatkan keuntungan dari pasar penjualan kembali itu sendiri. Seperti yang disinggung dalam artikel tersebut: “Cara termudah untuk mengalahkan calo adalah dengan memilikinya sendiri.”
Kemarahan Penggemar
Kelompok-kelompok suporter bereaksi dengan campuran rasa tidak percaya dan marah, menunjukkan bahwa biaya mengikuti sebuah tim selama turnamen, bahkan dengan tiket termurah sekalipun, dua kali lipat biaya untuk Piala Dunia Qatar. Persaingan tiket diperkirakan akan semakin sengit musim panas mendatang.
“Ini adalah privatisasi turnamen yang dulunya milik semua orang,” kata Ronan Evain, perwakilan kelompok Fans Europe.
Ia berpendapat bahwa FIFA mengubah Piala Dunia menjadi arena bermain bagi kelas menengah Barat dan hanya untuk segelintir orang yang cukup beruntung untuk menginjakkan kaki di Amerika Serikat.
FIFA membenarkan harga tiket yang tinggi sebagai cerminan “standar pasar Amerika”. Namun, mereka tidak menyadari maksudnya: Piala Dunia bukanlah Super Bowl atau tur Taylor Swift. Piala Dunia seharusnya menjadi milik semua orang: para penggemar yang menempuh perjalanan jauh, keluarga yang mengubah stadion netral menjadi festival warna dan suara.
Komersialisasi Emosi
Piala Dunia 2026 menunjukkan bahwa sepak bola bukan lagi sekadar olahraga, melainkan bisnis emosional. FIFA mengubah setiap perasaan penggemar menjadi uang: rasa takut ketinggalan, kecemasan di menit-menit terakhir, bahkan penjualan kembali tiket, semuanya dibayar. Sepak bola kini memiliki harga untuk setiap emosi.
Segala sesuatunya diperhitungkan sedemikian rupa sehingga setiap emosi mendatangkan pendapatan, bukan sekadar kesenangan sepak bola semata.
FIFA bersikeras bahwa semua uang yang terkumpul akan diinvestasikan kembali ke sepak bola. Namun, yang mereka tawarkan adalah cara pandang baru: sepak bola, seperti segala hal lain dalam kehidupan modern, kini dapat dihitung, diklasifikasikan, dan dikomersialkan.
Presiden FIFA Infantino telah berulang kali mengatakan bahwa 2026 akan menjadi ” Piala Dunia terbesar, paling seru, dan paling inklusif yang pernah ada “. Namun, Piala Dunia yang dibanderol sebagai merek mewah pasti akan gagal total pada hitungan ketiga.
Mimpi yang pernah dibawa sepak bola, sebuah taman bermain bersama dan kegembiraan bagi semua, kini telah dibeli, dikemas, dan dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Ketika hak untuk berpartisipasi juga telah menjadi komoditas, Piala Dunia bukan lagi milik dunia.
Scr/Mashable









