Ketika Adriano Menaklukkan Seluruh Amerika Selatan di Copa America 2004

04.11.2025
Ketika Adriano Menaklukkan Seluruh Amerika Selatan di Copa America 2004
Ketika Adriano Menaklukkan Seluruh Amerika Selatan di Copa America 2004

Adriano mengubah Copa America 2004 menjadi panggungnya sendiri. Dengan kekuatan, kecepatan, dan tendangan kiri yang dahsyat, “Sang Kaisar” membawa Brasil “kelas B” ke puncak kejayaan, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah sepak bola Amerika Selatan.

“Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan dalam sepak bola… kita tak bisa menjelaskan apa yang salah.” Itulah kata-kata putus asa Javier Zanetti setelah tim Argentina asuhannya kalah dari rival beratnya, Brasil, di final Copa America 2004.

Namun kenyataannya, ada penjelasannya. Penjelasan yang sederhana dan kuat. Penjelasan itu disebut Adriano Leite Ribeiro. Musim panas itu, ” Sang Kaisar” lebih dari sekadar pesepakbola, ia adalah kekuatan supernatural, raksasa yang sendirian membawa seluruh ” tim B” Brasil menuju kejayaan.

Brasil “Kelas B” dan Peluang untuk Pewaris

Dua tahun setelah Ronaldo ‘plontos’ menaklukkan dunia di Piala Dunia 2002, Brasil memasuki Copa America 2004 dengan susunan pemain yang tidak familiar. Pelatih Carlos Alberto Parreira memutuskan untuk mengistirahatkan semua superstarnya, mulai dari Ronaldo, Ronaldinho, Cafu hingga Roberto Carlos. Sebagai gantinya, ia membawa skuad muda ke Peru, tim B yang dibenci, dengan tujuan bereksperimen untuk masa depan.

Dalam konteks itu, sebuah peluang emas terbuka bagi Adriano. Pemuda berusia 22 tahun asal Rio de Janeiro ini, dengan fisiknya yang tinggi, kecepatan yang luar biasa, dan kaki kiri sekuat palu, telah lama dianggap sebagai pewaris takhta “Sang Alien “. Setelah bertahun-tahun berkelana di Fiorentina dan Parma, ia baru saja kembali ke Inter Milan dan mulai menanjak. Copa America 2004 menjadi panggung baginya untuk membuktikan bahwa ia siap.

Perjalanan Kehancuran dan Raksasa yang Tak Terhentikan

Setelah pertandingan pembuka yang kurang mengesankan, Adriano langsung mengamuk. Ia mencetak tiga gol melawan Kosta Rika, setiap golnya menunjukkan kualitas-kualitasnya yang paling menakutkan: tendangan jarak jauh yang menggelegar, sundulan yang kuat, serta teknik menekan dan penyelesaian yang kuat.

Di perempat final, ia terus meneror pertahanan Meksiko dengan dua gol dan satu assist. Di semifinal, melawan tim Uruguay yang berpengalaman dan terampil, Adriano kembali menjadi pahlawan, mencetak gol penyeimbang krusial sebelum mengeksekusi tendangan penaltinya dalam adu penalti untuk membawa Brasil ke final.

Final melawan Argentina merupakan puncak drama. Argentina, dengan skuad yang lebih unggul, unggul dua kali. Memasuki menit ketiga injury time, mereka masih unggul 2-1. Trofi hampir berada dalam genggaman Javier Zanetti dan timnya.

Namun, takdir memanggil nama Adriano. Dalam situasi kacau terakhir, dari umpan silang yang tak berbahaya, bola memantul keluar. Dan di sana, dikelilingi para bek Argentina, Adriano muncul.

Dengan gerakan cepat dan tendangan voli kaki kiri, ia menciptakan salah satu momen paling ikonik dalam sejarah Copa America. Bola melesat tepat ke sudut gawang. 2-2. Menit ke-93. Gol itu tak hanya menyelamatkan Brasil, tetapi juga mematahkan semangat Argentina.

Dalam adu penalti, Adriano, yang pertama kali maju, dengan tenang mencetak gol, mengawali kemenangan Brasil. Ia menyelesaikan turnamen dengan tujuh gol, memenangkan penghargaan Sepatu Emas dan Pemain Terbaik.

Ia seorang diri membawa pulang gelar yang tak terduga bagi tim Brasil yang dianggap tak diunggulkan. ” Saya tak bisa menjelaskan perasaan saya saat ini… ini jelas momen terhebat dalam karier saya,” ujarnya penuh kegembiraan.

Tragedi Demi Kejayaan: “Panggilan itu Mengubah Hidupku”

Musim panas tahun 2004 seharusnya menjadi awal sebuah dinasti. Namun ironisnya, itu justru menjadi puncak kejayaan “Kaisar ” . Hanya beberapa hari setelah final, Adriano menerima telepon dari kampung halamannya: ayahnya, yang sangat ia cintai dan merupakan sumber motivasi terbesarnya, tiba-tiba meninggal dunia di usia 45 tahun.

“Sejak hari itu, kecintaan saya pada sepak bola tak pernah sama lagi, ” akuinya kemudian. Kematian ayahnya membuatnya terjerumus ke dalam pusaran depresi dan alkoholisme. Ia kehilangan kegembiraan bermain, berat badannya naik, dan menjadi bad boy di media. Meskipun sempat bersinar, “Sang Kaisar” tak pernah bisa mengembalikan kekuatan dan semangat seperti musim panas 2004.

Karier Adriano adalah salah satu tragedi paling disayangkan dalam sepak bola modern. Namun bagi mereka yang menyaksikannya bermain di Copa America 2004, kenangan akan sang “Kaisar” di puncak kariernya, raksasa yang tak terhentikan, tak akan pernah pudar. Ini adalah pengingat akan bakat luar biasa dan rapuhnya kejayaan sepak bola.

Scr/Mashable