Fana bukanlah nama yang lahir dari ambisi menaklukkan dunia dalam semalam. Tidak ada cetak biru raksasa di belakang mereka. Band ini justru tumbuh dari retakan-retakan kecil; dari keraguan, dari rasa tersesat yang diam-diam kita nikmati, dan dari langkah kaki yang seringkali terseok.
Di sinilah “Path” menemukan nyawanya.
Single terbaru ini lahir dari momen krusial yang mungkin pernah kamu rasakan: saat rasanya terlalu lelah untuk lari kencang, tapi jiwa masih terlalu “hidup” untuk sekadar berhenti dan mati. Lagu ini bukan kompas. Jangan harap kamu nemu arah utara di sini. “Path” adalah ode buat langkah-langkah berantakan yang kita ambil saat dunia pelit memberi peta.
Lewat nomor anyar ini, Fana kembali menyentuh sisi paling purba dari manusia modern: kebingungan. Ada kalanya, diam di kamar itu suaranya jauh lebih bising daripada konser rock paling liar sekalipun.
Jika ditarik ke belakang, Fana memang terbentuk dari residu perasaan semacam itu. Berawal dari tongkrongan sekolah di penghujung 2024, Duffon Rofie Alserazi (vokal) dan Wirawan Hendra (gitar) memulai proyek ini bukan karena ingin keren, tapi karena lelah yang sudah nggak muat ditampung badan sendiri.

Energi itu menular. Lingkaran mereka membesar. Naqisha Shelovin (vokal) dan Firas Alan (bass) masuk membawa warna, disusul kepingan puzzle terakhir, Azka Maulana Syarief (gitar), Bizhak Devasurya (keyboard), dan Ghatan (drum).
Mereka sepakat berdiri di bawah panji “Fana“. Nama yang dipilih sebagai pengingat brutal bahwa nggak ada yang abadi. Semuanya bakal lewat. Tapi, cerita dan perasaan yang mereka rekam dalam lagu? Itu yang bakal bertahan lebih lama dari nafas mereka sendiri.
Pada Mei 2025 lalu, Fana sudah membuktikannya lewat EP debut bertajuk Bertebaran.
Tapi di “Path”, rasanya agak beda. Liriknya mengalir bak monolog sunyi. Ia bercerita soal bayangan masa lalu yang hobi mengekor dan waktu yang jalannya seenak jidat—terlalu cepat.
Poin pentingnya, Fana nggak jualan obat penenang di sini. “Path” tidak berisi lirik motivasi palsu ala “semua akan indah pada waktunya”. Nggak. Lagu ini cuma bilang: “Gue tahu lo capek, gue tahu arahnya buram, tapi lo masih jalan. Dan itu cukup.”
Ini lagu tentang bertahan hidup, bahkan saat keyakinan di dada sudah sisa ampas.










