Apa saja yang penting disiapkan oleh calon mahasiswa S3? 5 penulis TCID bagikan tips mereka

12.02.2025
Apa saja yang penting disiapkan oleh calon mahasiswa S3? 5 penulis TCID bagikan tips mereka
Nirat.pix/shutterstock.

Mahasiswa S3 (khususnya asal Indonesia) menghadapi beban studi berat dan biaya besar. Sayangnya, kondisi ini tidak diimbangi dengan dukungan sepadan sehingga berisiko memicu stres hingga depresi di kalangan mereka.

Bersama para akademisi, The Conversation Indonesia menerbitkan edisi khusus Jalan Terjal Doktoral untuk mengangkat problema yang menghantui mahasiswa doktoral/PhD. Edisi ini sekaligus memantik refleksi kita mengenai pentingnya dukungan, baik material maupun nonmaterial, bagi para pejuang S3.


The Conversation Indonesia (TCID) mewawancarai lima penulis yang sedang atau belum lama ini menyelesaikan studi S3, untuk mempelajari lebih lanjut pengalaman dan refleksi pribadi mereka.

‘It takes a village to raise a doctor’

Melanjutkan pendidikan S3 sering kali menjadi momok mengerikan bagi perempuan. Sebab, beban ganda perempuan sudah dimulai, bahkan sebelum ia mendaftar sekolah. Lingkungan sosial akan melontarkan berbagai pertanyaan, seperti “Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi?”.

“Bagi yang masih melajang, biasanya akan menghadapi sindiran halus ‘Awas nanti susah jodoh!’ atau ‘Awas jadi perawan tua!. Sementara para ibu akan ditanya ‘Anaknya siapa yang urus?’,” ujar Ina Nur Ratriyana, mahasiswa S3 di Monash University, Australia.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hampir pasti tidak dilayangkan pada kaum laki-laki.

Lalu bagaimana sebaiknya perempuan yang akan dan sedang sekolah S3 membentengi diri dari beban ganda ini?

Pertama, kita perlu menekankan pola pikir bahwa perempuan boleh melanjutkan S3. Pendidikan, di jenjang apa pun berhak disandang oleh siapa pun. Ini akan membantu kita untuk tidak mudah terjebak pada rasa bersalah karena komentar miring dari banyak orang.

Kedua, cari teman dengan pemahaman yang sama. Peer support group (kelompok dukungan sebaya) yang positif saat menjalani S3, apalagi di luar Indonesia, cukup penting untuk memberikan dukungan dari segi pengalaman maupun perspektif riset. Ini bisa didapatkan dari teman satu ruangan, research centre (pusat penelitian), laboratorium, maupun teman dari negara yang sama.

Ketiga, bila kamu datang bersama keluarga, sepakati bersama pekerjaan domestik dengan suami dan anak-anak (yang sudah dewasa). Jangan sampai waktumu dihabiskan dengan urusan dapur dan bersih-bersih rumah, padahal ada tenggat menghadang di depan mata.

Terakhir, penting untuk memberi tahu supervisor tentang multiperan yang kamu miliki. Kamu memang mahasiswa S3, tapi di waktu yang sama kamu juga berperan sebagai anak, istri, ibu, atau mungkin bahkan breadwinner (pencari nafkah). Kamu perlu berstrategi bersama supervisor untuk memastikan semua deadline berjalan baik meski ada saat-saat di mana kamu terpaksa mengerjakan hal lain terlebih dahulu.




Baca juga:
Calon doktor yang menjadi orang tua lebih rentan depresi: Psikiater bagikan tips mencegahnya


Komunikasi dan kompetensi antarbudaya

Menurut Elga Ahmad Prayoga, kandidat doktor di Université de Genève (UNIGE), Swiss, hal mutlak dan mendasar dalam mempersiapkan studi doktoral adalah kecakapan berbahasa. Tidak saja untuk memenuhi persyaratan tes (seperti UKBI, IELTS, DELF, JLPT, dan sebagainya), tetapi juga untuk mengembangkan empat keterampilan berbahasa—menyimak, berbicara, membaca, dan menulis—yang akan sangat berguna sepanjang perjalanan S3.

Terutama bagi kamu yang memilih studi di luar negeri, kemahiran berbahasa asing bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Kamu akan menggunakannya ketika berinteraksi dengan warga setempat hingga mengurus keperluan administratif, seperti menyewa tempat tinggal, mendaftar asuransi, membuka rekening di bank, dan sebagainya.

Selain kefasihan berbahasa, kompetensi antarbudaya juga semestinya dimiliki oleh calon mahasiswa. Ini menjadi nilai tambah yang signifikan dan bisa membantumu terhindar dari kesalahpahaman yang dapat memicu konflik, termasuk fenomena gegar budaya (culture shock).

Selain kedua hal tersebut, pengalaman juga mengajarkan saya bahwa kesuksesan dalam studi doktoral sangat bergantung pada kemampuan membangun jejaring dan keingintahuan. Mengikuti seminar, simposium, konferensi, dan berbagai kegiatan lain yang diselenggarakan oleh kampus maupun sekolah doktoral tidak hanya akan memperkaya wawasan, tetapi juga membantu kita berjejaring secara profesional.

Terakhir, selama masa studi, sempatkan diri untuk mengeksplorasi tradisi lokal, seperti mempelajari ritual minum teh di Jepang, menghadiri festival musim dingin di Quebec, Kanada, mencicipi minuman anggur di Prancis, atau menikmati aneka keju di Swiss. Selain mempelajari hal-hal baru, aktivitas ini juga bisa menjadi penyeimbang antara kehidupan akademis dan nonakademis.

Jangan abaikan rancangan penelitian

Menjadi calon mahasiswa S3 memerlukan persiapan yang matang, termasuk dalam hal rancangan penelitian. Kelvin Tang, kandidat PhD di Universitas Tokyo, Jepang, menegaskan hal ini. Menurutnya, meskipun rencana dapat berubah, hal ini penting untuk mengarahkan penelitian secara efektif sehingga program PhD dapat selesai tepat waktu.

Rencana penelitian adalah panduan detail mengenai topik yang akan diteliti, pentingnya bagi publik, literatur yang sudah ada, metode penelitian yang akan digunakan, serta implikasi praktis dan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan.

Biasanya, penentuan topik penelitian berangkat dari minat, observasi, dan hasil kajian literatur. Penelitian saya tentang pendidikan lingkungan, contohnya, berawal dari pengalaman pribadi menyaksikan kerusakan lingkungan di kota tempat saya tinggal.

Setelah mendapatkan ide dan menyusun rencana penelitian, calon mahasiswa perlu mencari universitas dan dosen pembimbing yang memiliki keahlian di bidang yang sesuai. Di beberapa universitas dan negara, seperti Jerman, program doktoral lebih banyak berbasis proyek riset, di mana mahasiswa diterima dalam kelompok penelitian yang sudah berjalan. Karena itu, calon mahasiswa diwajibkan untuk menghubungi calon dosen pembimbing terlebih dahulu guna mendiskusikan rencana penelitian mereka. Biasanya, informasi kontak dosen dapat ditemukan melalui situs web universitas.

“Namun, pengalaman saya di Jepang berbeda. Calon mahasiswa tidak diwajibkan untuk menghubungi dosen pembimbing sebelum admisi (proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi). Saya hanya perlu mencari calon pembimbing. Lalu, pada saat ujian masuk, saya mempresentasikan rencana penelitian di hadapan dosen tersebut,” tambah Kelvin.

Ini menegaskan bahwa rancangan penelitian dan pemahaman atas proses penerimaan PhD yang berbeda-beda adalah dua dari banyak hal penting yang perlu disiapkan oleh calon mahasiswa PhD.

Relasi dengan supervisor/promotor

Kharisma Padmanegara/shutterstock.

Menempuh studi doktoral tidak hanya tentang menyelesaikan penelitian, tetapi juga membangun hubungan akademis yang baik—terutama dengan supervisor. Supervisor bukan sekadar pembimbing yang memberikan arahan teknis, tetapi juga mitra intelektual.

Sebelum memulai studi, penting untuk memastikan bahwa topik penelitian yang dipilih selaras dengan minat dan keahlian supervisor. Selain itu, komunikasi yang jelas sejak awal sangat diperlukan. Diskusikan mengenai ekspektasi bersama, seperti frekuensi bimbingan, metode supervisi, dan sejauh mana keterlibatan supervisor dalam penelitian, sehingga dapat membantu menghindari potensi kesalahpahaman di kemudian hari.

Setiap supervisor memiliki gaya bimbingan yang berbeda—beda yang sangat terstruktur dan detail, ada pula yang memberikan kebebasan penuh. Kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan gaya supervisi ini akan membantu mahasiswa dalam menjalani proses bimbingan secara lebih efektif dan nyaman.

“Memang, hubungan dengan supervisor tidak selalu berjalan tanpa kendala. Ada mahasiswa yang merasa kurang mendapatkan arahan, ada pula yang merasa terlalu dikontrol,” jelas Ayu Anastasya Rachman, lulusan program doktor Universitas Padjadjaran, Bandung.

Dalam situasi seperti ini, keterampilan komunikasi dan negosiasi menjadi sangat penting. Jika terdapat kendala dalam bimbingan, sampaikan secara tegas dan profesional sebagai langkah pertama untuk menemukan solusi.

Salah satu cara untuk membangun hubungan yang lebih baik adalah dengan terlibat dalam proyek penelitian yang dikerjakan oleh supervisor. Ini tidak hanya memperlancar komunikasi, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman riset yang lebih luas.

Selain itu, penting bagi mahasiswa untuk memiliki jaringan akademis di luar supervisor, seperti mentor tambahan, komunitas diskusi, atau rekan sesama mahasiswa S3. Dengan demikian, mahasiswa dapat memperoleh perspektif alternatif dan tidak merasa terlalu bergantung pada satu sosok pembimbing saja.

Kesiapan mental

Salah satu hal yang menurut Finsensius Yuli Purnama, lulusan S3 dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, penting adalah kesiapan sikap mental yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran S3 yang bersifat mandiri (self-learning). Dosen pembimbing bukanlah penuntun dan pengajar kita, melainkan partner diskusi yang memiliki kompetensi lebih dalam bidang masing-masing.

Pepatah mengatakan: pedang yang mampu memotong kayu bukanlah pedang yang tajam, melainkan pedang yang bersungguh-sungguh. Maka, keberhasilan studi tidak semata-mata ditentukan oleh kualitas intelektual kita, tetapi juga ketekunan dan konsistensi dalam mengerjakan setiap tahap studi.

Kesungguhan ini tidak hanya bersifat internal dan akan lebih baik jika ditangkap juga oleh para pembimbing. Indikatornya mudah, tepat waktu dalam mengerjakan tugas, menunjukkan karya-karya (tulis) kita yang relevan dengan topik disertasi, dan hadir secara rutin pada sesi konsultasi disertasi.

Selebihnya, dosen pembimbing juga manusia. Selain memperlakukannya secara profesional, bangunlah relasi personal sebagai rekan diskusi. Pengalaman saya, jika itu berhasil, relasi profesional-personal-akademis akan tetap terbangun meski kita sudah lulus.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.