FOMO berpotensi menyeret kelas menengah jatuh ke lubang kemiskinan

06.02.2025
FOMO berpotensi menyeret kelas menengah jatuh ke lubang kemiskinan
Ummi Hassian/ Shutterstock.

Banyak orang rela mengantre lama di gerai pusat perbelanjaan hanya untuk membeli boneka seharga jutaan bernama Labubu. Publik juga menyayangkan aksi blokir produk terbaru Iphone 16 oleh pemerintah karena permasalahan investasi. Bahkan, beberapa sudah melakukan importasi mandiri lebih dari 12 ribu unit.

Ini menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk berbelanja barang konsumsi non-primer.

Padahal, situasi ekonomi di tanah air sedang tidak baik-baik saja. Buktinya, populasi kelas menengah di Indonesia mengalami penyusutan. Data BPS mencatat pada 2019, kelompok kategori ini masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Sementara tahun ini, jumlahnya tinggal 17,44 persen atau sekitar 47,85 juta jiwa.

Antrian warga di salah satu gerai Pop Mart Jakarta pada Agustus 2024 lalu untuk membeli Labubu yang kala itu sedang menjadi tren. petanicupu/ Shutterstock.

Ini tak lepas dari maraknya ajang pamer di media sosial (medsos) yang tanpa disadari telah menjadi standar hidup di masyarakat. Meski apa yang dipertontonkan di media sosial kerap tidak aktual dan sarat rekayasa, fenomena Fear of Missing Out (FOMO)—kondisi takut ketinggalan tren—telah mendorong perilaku belanja berlebihan.

Akibatnya, masyarakat kelas menengah di Indonesia rawan jatuh ke kategori rentan miskin akibat perilaku belanja karena FOMO tersebut.

Fenomena FOMO terhadap Labubu juga terjadi di Thailand. Applepy/Shutterstock.

FOMO dalam konsumsi

Hasil riset Pusat Riset Kependudukan BRIN pada tahun 2024 menunjukkan bahwa FOMO adalah satu dari banyak faktor yang menyebabkan anjloknya jumlah kelas menengah Tanah Air. Mereka turun kelas ke kelompok calon kelas menengah atau aspiring middle class. Kelompok ini berada di antara kelas menengah dan kelas rentan miskin.

Tak seperti kelas menengah dan menuju kelas menengah yang cenderung menurun, kelompok rentan miskin justru terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Pada 2019, persentase kelompok calon kelas menengah masih 128,85 juta dan pada tahun ini naik jadi 137,5 juta. Pada saat yang bersamaan, kelompok rentan miskin juga terus bertambah, dari 54,97 juta pada 2019 menjadi 67,69 juta pada 2024.

Karena FOMO, pengeluaran masyarakat kelas menengah lebih diprioritaskan pada konsumsi pemenuhan gaya hidup ketimbang kebutuhan primer seperti pendidikan dan perumahan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan adanya peningkatan belanja kelompok kelas menengah untuk kebutuhan hiburan dan pesta dalam 10 tahun terakhir. Pengeluaran untuk hiburan, contohnya, meningkat dari 0,22 persen pada 2014 menjadi 0,38 persen pada 2024. Kemudian, pengeluaran untuk pakaian juga meningkat. Tercatat pada 2014 pengeluaran kelas menengah untuk pakaian hanya mencapai 2,16 persen, sementara pada 2024 mencapai 2,44 persen.

Ini berbanding terbalik dengan pengeluaran untuk makanan, minuman, dan kebutuhan perumahan. Bahkan, pengeluaran pendidikan dan kesehatan di kalangan kelas menengah juga turun—menunjukkan pergeseran prioritas pada alokasi pengeluaran mereka.

Andi Ibnu/The Conversation Indonesia.

Sebenarnya, FOMO dalam hal konsumsi bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pada tahun 2011, saat Blackberry melansir gawai terjangkaunya Blackberry Bold 9790, antrean pembeli produk ini mengular hingga perlu dikawal polisi.

Namun, setidaknya FOMO yang terjadi pada kala itu masih boleh dimaklumi. Sebab pada saat itu, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang moncer dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 mencapai 6,5% yang disokong berkah comodity boom dan pertumbuhan ekonomi Cina yang masih stabil tumbuh 2 digit berturut-turut.

Perbedaan FOMO di era sebelumnya dengan zaman sekarang ini juga ada pada media yang dipakai sebagai pemicu munculnya FOMO. Zaman dahulu orang-orang yang dapat terpicu mengalami kondisi FOMO adalah orang-orang yang gemar membaca koran artikel di majalah, iklan di radio, bahkan kebaruan dari apa yang dimiliki oleh tetangga sebelah rumah. Saat ini, masyarakat yang mengalami kehadiran FOMO kemungkinan besar karena kecanduan bermain sosial media.

Obat FOMO

Salah satu dampak paling merugikan dari FOMO adalah budaya belanja berlebihan, yang dapat mengarah pada masalah keuangan serius, bahkan kemiskinan. Lalu apa obatnya?

Melalui bukunya, Patrick McGinnis, pencipta istilah FOMO mengajak pembaca untuk membatasi penggunaan media sosial, menerima kenyataan bahwa tidak semua peluang perlu diambil, dan berani berkata “tidak” pada hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuan hidup yang telah ditetapkan.

Patrick juga memberikan panduan tentang bagaimana membuat keputusan yang efektif dengan cara yang lebih percaya diri, tanpa dihantui oleh rasa ragu-ragu atau takut kehilangan peluang.

Bijak merespons fenomena di media sosial

Media sosial memainkan peran besar dalam meningkatkan prevalensi FOMO. Platform seperti Instagram, Facebook, dan Twitter sering menampilkan postingan tentang liburan mewah, gadget terbaru, fashion, kuliner terkini, dan gaya hidup yang tampaknya sempurna. Secara reguler, kita terpapar oleh gambar kehidupan glamor serta tren terbaru yang dipamerkan oleh teman-teman, selebriti, dan influencer.

Penggunaan media sosial yang berlebihan menjadi pangkal permasalahan munculnya FOMO. Tidak sedikit anak muda yang terpapar FOMO merasa depresi jika tidak bisa mengikuti standar gaya hidup di media sosial.

FOMO berpotensi menyebabkan depresi bagi orang yang tidak bisa mengikutinya. Tero Vesalainen/ Shutterstock.

Beberapa penelitian telah berusaha mengukur seberapa umum FOMO di berbagai kelompok demografis. Sebuah studi tahun 2013 menemukan bahwa hampir tiga perempat responden dewasa muda melaporkan mengalami FOMO sampai tingkat tertentu. Penelitian ini juga menemukan bahwa FOMO lebih umum di kalangan anak muda dan laki-laki dibandingkan perempuan.

Sejumlah fakta menarik juga ditemukan dari hasil eksperimen sosial yang dilakukan oleh ‘Blibli’ pada tahun 2023. Riset tersebut mengungkap warga Jakarta menjadi jawara korban FOMO dan perempuan menjadi yang paling FOMO kala belanja online. Dari segi demografi usia, warga usia 25-34 tahun menjadi yang paling mudah terpancing mengunjungi situs, disusul warga usia 18-24 tahun.

Ini menegaskan pentingnya edukasi dan literasi tentang media sosial, termasuk dalam hal keuangan. Sebab, selain membuat depresi, FOMO juga bisa menyeretmu ke dalam lubang kemiskinan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.