Induk sepak bola dunia, FIFA tiba-tiba mengumumkan hukuman yang sangat berat: menangguhkan tujuh pemain naturalisasi dan mendenda Federasi Sepak Bola Malaysia atas dugaan pemalsuan dokumen.
Hal ini sangat mengejutkan, tidak hanya bagi para penggemar Malaysia, tetapi juga membuat publik di negara ini bertanya-tanya: apa yang membuat FIFA tiba-tiba dan cepat mengumumkan pembatalan pertandingan dari bulan Juni? Siapa yang mungkin memengaruhi keputusan ini?
Pejabat Malaysia Mencurigai Adanya Campur Tangan Pihak Luar
Aspek paling kontroversial dari hukuman adalah betapa mendadak dan beratnya hukuman tersebut. FIFA telah menyetujui permohonan naturalisasi pemain Malaysia, tetapi tak lama kemudian, organisasi tersebut mengambil keputusan sebaliknya.
Putra Mahkota Johor, Tunku Ismail Sultan Ibrahim, seorang tokoh terkemuka di sepak bola Malaysia, secara terbuka mengungkapkan kemarahan dan ketidakpercayaannya.
Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di media sosial, ia mempertanyakan: “FIFA sudah menyetujuinya sebelumnya, mengapa mereka mengubahnya sekarang? Apa yang membuat mereka tiba-tiba menjatuhkan hukuman? Apakah ada faktor eksternal yang memengaruhinya?” Putra Mahkota Johor juga dengan cerdik menyarankan dengan pertanyaan yang bermakna: “Siapa yang ada di New York?”, mengisyaratkan kemungkinan adanya pertemuan di balik layar yang memengaruhi keputusan FIFA.
Keterkejutan para pejabat Malaysia dapat dimaklumi, karena hukuman tersebut tidak hanya berdampak pada nama baik tim nasional tetapi juga berisiko mengubah situasi Grup F Kualifikasi Piala Asia 2027. Malaysia memimpin grup dengan 6 poin setelah dua pertandingan, unggul 3 poin dari Vietnam. Namun, jika dihukum, Malaysia bisa saja kalah 0-3 di kedua pertandingan, sehingga berada di dasar klasemen dan dianggap tereliminasi.
Obsesi dengan Erick Thohir
Di tengah badai opini publik, banyak orang mengalihkan perhatian mereka kepada Presiden Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir. Putra Mahkota Johor mengisyaratkan bahwa Thohir memiliki pengaruh. Kecurigaan ini semakin kuat ketika Putra Mahkota Johor tiba-tiba mengunggah foto Presiden FIFA Gianni Infantino yang sedang tersenyum di samping Erick Thohir.
Mengapa Erick dicurigai? Jawabannya terletak pada fakta bahwa ia telah menghabiskan banyak tenaga, uang, dan waktu untuk membangun timnas Indonesia dengan skuad pemain naturalisasi berkualitas, melalui proses rumit yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Indonesia kini memiliki banyak bintang keturunan Belanda. Semuanya harus melalui berbagai prosedur untuk membuktikan asal usul mereka, meyakinkan pemerintah, dan terkadang menghadapi tekanan dari opini publik domestik.
Sementara itu, Malaysia hanya butuh waktu singkat untuk memiliki tim naturalisasi yang kuat dengan banyak pemain Amerika Selatan dan Eropa, yang mampu menyaingi posisi Indonesia sebagai tim nomor satu di Asia Tenggara. “Kemudahan” dan kecepatan inilah yang membuat publik yakin bahwa Thohir punya alasan untuk merasa tidak puas. Sebab, jika Malaysia bisa melampaui Indonesia di Piala Asia atau bahkan Piala Dunia, semua upayanya untuk membangun akan sia-sia.
Tentu saja, tidak ada bukti konkret bahwa Thohir secara langsung menekan FIFA. Namun, dalam dunia sepak bola yang penuh perhitungan, wajar jika masyarakat Malaysia curiga ia mungkin menggunakan pengaruhnya untuk melindungi kepentingan Indonesia.
Bayangan Donald Trump dan Perhitungan FIFA
Namun, kecurigaan tidak berhenti di Asia Tenggara. Hipotesis lain muncul: apakah AS, khususnya Presiden Donald Trump, yang telah membuat FIFA “bersalah” dan terpaksa mengambil tindakan drastis?
Pada 26 September, tepat sehari sebelum FIFA mengumumkan hukumannya terhadap Malaysia, Trump membuat pernyataan yang luar biasa tentang Piala Dunia 2026—sebuah turnamen yang akan diselenggarakan bersama oleh Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Ia menegaskan bahwa ia siap memindahkan pertandingan dari kota-kota di Amerika jika tidak aman. Khususnya, ia juga secara terbuka mengkritik Seattle dan San Francisco—dua tempat yang dipilih—sebagai “dijalankan oleh orang-orang sayap kiri ekstrem yang tidak tahu apa yang mereka lakukan.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Trump sangat tertarik dengan penyelenggaraan Piala Dunia. Dengan temperamennya yang mudah berubah, ia dapat berubah pikiran kapan saja, menciptakan tekanan besar bagi FIFA selama proses persiapan. Dalam konteks tersebut, organisasi ini terpaksa menunjukkan “empati yang kuat” untuk menyenangkan Trump, demi memastikan kelancaran kerja sama untuk turnamen terpenting di dunia ini.
Patut diingat bahwa Trump selalu sangat keras terhadap imigrasi. Ia pernah mengerahkan Garda Nasional untuk menangani apa yang disebut “krisis kejahatan” di Washington, DC, dan dengan bangga menyatakan bahwa kota itu “bebas kejahatan” setelahnya.
Dengan pandangan imigrasi sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban sosial, penanganan tegas FIFA terhadap kasus pemain naturalisasi Malaysia dapat dipahami sebagai tindakan yang “selaras” dengan pandangan Trump. Untuk menyenangkan AS, FIFA juga tidak mengambil tindakan apa pun terhadap sepak bola Israel meskipun ada perkembangan yang keras baru-baru ini.
FIFA, yang sering dikritik karena kurangnya transparansi, mungkin ingin menunjukkan bahwa mereka juga “keras” terhadap imigrasi di sepak bola. Pesan ini tidak hanya ditujukan kepada Asia Tenggara, tetapi juga kepada negara-negara yang perlu mengendalikan penggunaan pemain imigran. Lebih luas lagi, pesan ini ditujukan kepada Gedung Putih, di mana Trump secara langsung mengawasi isu-isu terkait Piala Dunia 2026.
Jika hipotesis ini benar, hukuman bagi Malaysia bukan sekadar masalah dokumen naturalisasi, tetapi juga bagian dari permainan catur politik – di mana FIFA harus menyeimbangkan kepentingan untuk menjaga turnamen terbesar di planet ini tetap aman.
Scr/Mashable