Gelora Bung Karno yang Terbelah: Kontroversi Atlet Israel di Panggung Senam Dunia Jakarta 2025

10.10.2025
Gelora Bung Karno yang Terbelah: Kontroversi Atlet Israel di Panggung Senam Dunia Jakarta 2025
Gelora Bung Karno yang Terbelah: Kontroversi Atlet Israel di Panggung Senam Dunia Jakarta 2025

Bayangkan sebuah arena megah di jantung ibu kota, di mana tubuh-tubuh lincah melayang di atas palang ganda, memutar-mutar udara dengan keanggunan yang menakjubkan, diiringi sorak penonton yang bergemuruh. Itulah yang seharusnya menjadi citra Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Indonesia Arena, Gelora Bung Karno, Jakarta, dari 19 hingga 25 Oktober mendatang.
Ajang bergengsi Fédération Internationale de Gymnastique (FIG) ini, yang pertama kali digelar di Asia Tenggara, diharapkan menyatukan 86 negara dan lebih dari 600 atlet untuk merayakan batas-batas kemampuan manusia. Namun, bayangan gelap kini menyelimuti gelora itu: rencana keikutsertaan tim senam Israel yang memicu badai penolakan dari berbagai kalangan, mengubah panggung olahraga menjadi medan diplomasi panas.

Kontroversi ini bukan sekadar isu visa atau logistik; ia menyentuh luka mendalam sejarah dan kemanusiaan. Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan komitmen historis mendukung kemerdekaan Palestina, sejak 1962 telah menolak kehadiran delegasi Israel di ajang olahraga internasional.

Saat itu, Asian Games Jakarta memicu krisis diplomatik global ketika visa ditolak untuk Israel dan Taiwan, sebuah keputusan yang mengukuhkan posisi anti-kolonialisme Jakarta. Sejarah itu berulang di 2023, ketika FIFA mencabut hak tuan rumah Piala Dunia U-20 dari Indonesia akibat protes publik terhadap potensi partisipasi Israel.

Kini, dengan Gaza masih bergema suara duka—seperti yang diingatkan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di Sidang Umum PBB baru-baru ini—kehadiran atlet Israel terasa seperti pengkhianatan terhadap prinsip dasar bangsa.

Pemicu utama adalah konfirmasi dari Israel Gymnastics Federation pada Juli lalu, yang menyatakan bahwa atletnya telah terdaftar resmi untuk bertanding. Di antara nama-nama yang disebut adalah Artem Dolgopyat, bintang Israel yang meraih emas Olimpiade Tokyo 2020 di nomor floor exercise, perak Paris 2024, dan gelar juara dunia 2023.

“Kami dalam kontak langsung dengan penyelenggara dan yakin bahwa pertimbangan eksternal tidak akan menyelimuti olahraga,” ujar juru bicara federasi itu, menekankan harapan akan keamanan delegasi.

Bagi FIG, ini adalah edisi terbesar sepanjang sejarah, dengan tagline “Move to Inspire” yang diharapkan mendorong gaya hidup aktif di tengah budaya instan modern. Namun, bagi banyak pihak di Indonesia, inspirasi itu terasa hampa jika dibangun di atas fondasi ketidakadilan.Penolakan datang seperti gelombang pasang.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Sekretaris Umum Anwar Abbas, menyerukan boikot total, menyebut kehadiran Israel sebagai “penjajahan yang harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”—mengutip langsung Pembukaan UUD 1945. Anwar Abbas dari Muhammadiyah, organisasi keagamaan terbesar kedua di Indonesia, menambahkan nada kritis:
“Bagaimana kita bisa menerima atlet yang merupakan perwakilan resmi Israel, negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan kita?”

Demonstrasi solidaritas Palestina di depan Kedutaan Besar AS Jakarta pada 7 Oktober, bertepatan dengan ulang tahun kedua perang Gaza, semakin memperkuat suara jalanan. Aktivis dan kelompok pemuda, dari mahasiswa hingga komunitas olahraga, menggelar petisi online yang telah mengumpulkan puluhan ribu tanda tangan, menuntut Persatuan Senam Indonesia (Persani) sebagai panitia nasional untuk membatalkan pendaftaran.

Di ranah politik, respons tak kalah tegas. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta mendesak pemerintah untuk “bersikap tegas” dan menunjukkan politik luar negeri bebas aktif yang berpihak pada kemanusiaan.

“Jangan sampai kita kebobolan lagi soal keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga internasional,” katanya, mengingatkan bahwa izin bagi atlet Israel berpotensi menimbulkan polemik publik dan mencederai amanat konstitusi.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo, yang bertanggung jawab atas keamanan kota tuan rumah, menyatakan penolakannya secara blak-blakan.

“Tentang atlet Israel, kalau ke Jakarta tentunya sebagai Gubernur, dalam kondisi seperti ini pasti saya tidak mengizinkan,” tegas Pramono di Balai Kota Jakarta, seperti dikutip dari Antara.

Ia bahkan menyarankan agar visa tak dikeluarkan sama sekali: “Karena tak ada manfaatnya dalam kondisi seperti ini ada atlet gymnastic itu bertanding di Jakarta. Pasti akan menyulut, memantik kemarahan publik dalam kondisi seperti ini.” Pramono menambahkan, memori Gaza masih melekat kuat di masyarakat, dan pidato Presiden Prabowo di PBB telah “clear” soal dukungan untuk Palestina.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Sugiono mengambil posisi hati-hati, menegaskan bahwa penyelenggaraan sepenuhnya di bawah Persani.

“Saya monitor tapi ini yang menyelenggarakan kan Persani ya. Kita lihat perkembangannya seperti apa,” ujarnya di Istana Negara.

Kemenlu, katanya, belum menerima permintaan resmi untuk izin atau rekomendasi visa, yang kewenangannya ada di Direktorat Jenderal Imigrasi.

“Kalau misalnya menerima atau tidak itu akan ditentukan apakah mereka diberikan visa atau tidak, dan itu bukan oleh Kementerian Luar Negeri… kan ini mengeluarkan visa itu kan dari Imigrasi,” imbuh Sugiono, menunjukkan bahwa isu ini masih menggantung di birokrasi.

Arena senam berwarna pink lembut, terinspirasi bendera Merah Putih, siap menjadi pusat perhatian, dengan format individu yang memungkinkan hingga enam pria dan empat wanita per negara bersaing di enam alat.

Namun, pertanyaan besar tetap: bisakah olahraga benar-benar terpisah dari politik? Sejarah menjawab tidak—dan kali ini, dengan Olimpiade Los Angeles 2028 di depan mata, tekanan untuk kualifikasi justru memperkeruh suasana.

Kontroversi ini menguji fondasi Indonesia sebagai tuan rumah: antara ambisi global dan prinsip moral. Jika atlet Israel datang, apakah sorak penonton akan berganti dengan protes? Atau, akankah pembatalan visa menyelamatkan kehormatan, tapi merusak reputasi internasional?

Hanya waktu—dan keputusan birokrasi—yang akan menentukan. Sementara itu, di lapangan senam yang kosong, matras pink itu menunggu, tapi bukan tanpa bayang-bayang konflik yang lebih besar.

Scr/Mashable