Dunia sepak bola kembali dikejutkan oleh insiden kekerasan yang mengerikan di Argentina. Seorang pesepak bola berusia 35 tahun, Jonathan Smith, dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi darurat setelah kunci mobil tertancap di kepalanya akibat keributan brutal di tribune penonton.
Kejadian ini terjadi pada Rabu lalu di Berazategui, saat Smith menghadiri pertandingan sepak bola wanita usia di bawah 16 tahun untuk menyaksikan putrinya bermain. Apa yang seharusnya menjadi momen kebersamaan keluarga berubah menjadi mimpi buruk yang kini menjadi sorotan nasional dan internasional.
Smith, gelandang andalan klub divisi empat Argentina, General Lamadrid, tiba di stadion dengan hati penuh harap. Ia baru saja bergabung dengan Lamadrid dari klub lamanya, Berazategui, pada Januari lalu setelah karir nomaden di liga-liga rendah Argentina.
Namun, suasana yang hangat segera memanas ketika orang tua-orang tua di tribune tiba-tiba terlibat dalam perkelahian hebat. Menurut laporan dari media lokal seperti El Grafico, keributan dimulai dari perdebatan kecil yang eskalasi menjadi kekacauan massal. Smith, yang mencoba menengahi, justru menjadi korban utama.
Gambar-gambar mengerikan yang beredar di media sosial menunjukkan darah mengalir deras dari kepalanya, dengan kunci mobil yang tampak tertancap dalam di tengkoraknya.Tanpa membuang waktu, Smith segera dibawa ke Rumah Sakit Evita Pueblo untuk operasi darurat.
Dokter menemukan bahwa ia mengalami patah tulang tengkorak, tetapi untungnya, kunci tersebut tidak merusak pembuluh darah atau arteri utama. Operasi berjalan sukses, dan Smith kini sedang dalam pemulihan.
“Kami bersyukur atas keajaiban ini,” kata seorang kerabat Smith kepada wartawan di luar rumah sakit.
Namun, trauma fisik dan mental yang dialaminya pasti akan meninggalkan bekas mendalam, terutama karena insiden ini terjadi di depan putrinya yang juga ikut terluka ringan dan dirawat di rumah sakit yang sama.
Polisi setempat dengan cepat mengidentifikasi tersangka utama, Gaston Omar Alvarez, seorang pria berusia 40 tahun. Alvarez ditangkap di tempat kejadian dengan luka di wajahnya sendiri, menandakan betapa sengitnya pertarungan itu. Mobilnya, sebuah Chevrolet Zafira, disita oleh otoritas sebagai barang bukti.
Menurut sumber dari Ole, Alvarez diduga menggunakan kunci mobilnya sebagai senjata dadakan selama keributan. Kasus ini kini sedang diselidiki sebagai upaya pembunuhan, yang bisa berujung pada hukuman berat bagi pelaku.
“Kekerasan seperti ini tidak bisa dibiarkan lagi di sepak bola kita,” tegas seorang pejabat polisi dalam konferensi pers kemarin.
Insiden ini bukanlah yang pertama kalinya Argentina diguncang oleh kekerasan di sekitar pertandingan sepak bola. Negeri tango ini memiliki sejarah panjang dengan fenomena “barra brava”, kelompok suporter ultra yang sering kali bertindak seperti mafia mini di balik dukungan fanatik mereka. Grup-grup ini, yang lahir pada 1950-an, awalnya hanya menyemangati tim dengan spanduk, drum, dan nyanyian, tetapi kini sering terlibat dalam perkelahian berdarah untuk menguasai dana tiket atau hak istimewa.
Menurut data dari organisasi Salvemos al Fútbol, lebih dari 300 orang telah tewas akibat kekerasan terkait sepak bola di Argentina sejak beberapa dekade terakhir. Hanya pada 2024 saja, dua suporter tewas ditusuk dalam pertandingan Chacarita Juniors vs Deportivo Maipú dan Gimnasia Mendoza vs Defensores del Belgrano, memaksa isu hooliganisme kembali menjadi agenda nasional.
Kasus serupa pernah mengguncang sepak bola Amerika Selatan. Pada 2014, kapten klub Tiro Federal, Franco Nieto, tewas setelah dipukul batu di kepala oleh hooligan usai pertandingan melawan Chacarita Juniors.
Serangan itu terjadi saat Nieto berjalan ke mobil bersama istri dan bayi perempuannya yang baru berusia sebulan.
Insiden tersebut menewaskan Nieto di usia 33 tahun dan menambah daftar 15 korban jiwa akibat kekerasan sepak bola di Argentina tahun itu. Lebih tragis lagi, Tragedi Estadio Nacional di Peru pada 1964—yang melibatkan pertandingan kualifikasi Olimpiade melawan Argentina—menewaskan 328 penonton akibat kerusuhan massal yang dipicu ketidakpuasan terhadap keputusan wasit.
Kekacauan itu berujung pada penembakan gas air mata dan stampede, meninggalkan luka abadi bagi sepak bola benua itu.Di level internasional, Argentina juga tak luput dari kontroversi.
Final Copa Libertadores 2018 antara River Plate dan Boca Juniors harus dipindah ke Madrid setelah suporter River menyerang bus tim Boca dengan batu dan bom molotov, melukai beberapa pemain termasuk Pablo Perez. FIFA bahkan membuka investigasi, tapi insiden seperti itu terus berulang.
Baru-baru ini, pada Agustus 2025, pertandingan Copa Sudamericana antara Independiente dan Universidad de Chile dihentikan paksa setelah suporter Argentina menyerang fans Chile, menyebabkan puluhan luka dan lebih dari 100 penangkapan.
Presiden Chile, Gabriel Boric, menyebutnya sebagai “pembantaian” dan mengirim menteri dalam negeri untuk menangani korban. Kekerasan ini, menurut sosiolog Argentina Diego Murze, berakar dari “logika tribal” di sepak bola, di mana frustrasi sosial dan provokasi antar-fans menjadi pemicu utama.
Asosiasi Sepak Bola Argentina (AFA) dan pemerintah telah berupaya keras mengatasi masalah ini. Sejak 2013, suporter tamu dilarang hadir di pertandingan liga domestik untuk mencegah bentrokan, meski aturan ini baru dicabut sebagian pada 2025 setelah 12 tahun. Biometrik dan pengawasan CCTV diterapkan di stadion, serta larangan alkohol, tapi hasilnya masih jauh dari ideal.
“Sepak bola seharusnya menyatukan, bukan memecah belah,” kata Claudio Tapia, presiden AFA, dalam pernyataan terbarunya.
Ia menekankan perlunya sanksi tegas bagi barra brava dan edukasi bagi suporter muda. Kembali ke kasus Smith, pemulihannya menjadi simbol harapan di tengah kegelapan.
Putrinya, yang kini aman di rumah, berjanji akan kembali bermain sepak bola untuk ayahnya. Smith sendiri, meski masih lemah, menyampaikan pesan melalui media sosial:
“Saya selamat untuk melanjutkan passion saya. Mari kita akhiri kekerasan ini demi generasi mendatang.”
Pesan itu langsung viral, mengumpulkan dukungan dari rekan-rekan pesepak bola seperti Lionel Messi, yang ikut mengutuk insiden tersebut.
Scr/Mashable










