Satu gelar saja tidak cukup untuk menyelamatkan karier – pelajaran dari Manchester United menjadi peringatan bagi para pelatih di Eropa. Ketika kegembiraan kemenangan berlalu, kenyataan pahit akan segera muncul.
Peluit akhir final Piala FA tahun lalu berbunyi, Ten Hag dengan gembira mengangkat trofi bergengsi itu di hadapan ribuan penggemar Manchester United yang antusias. Itu adalah momen emas, tetapi itu juga merupakan titik awal untuk serangkaian keputusan salah yang menghancurkan seluruh musim bagi “Setan Merah” Manchester.
Ketika Sebuah Gelar Tidak Cukup untuk Selamatkan Karier
Meski telah meninggalkan Old Trafford, bayang-bayang Erik ten Hag masih ada sebagai peringatan yang menghantui dalam sepak bola Inggris. Keputusan untuk memperpanjang kontrak pelatih asal Belanda itu setelah kemenangan di Wembley dengan cepat berubah menjadi pertaruhan yang mahal.
Hanya berselang tiga bulan, meski telah menghabiskan £180 juta di bursa transfer musim panas, Ten Hag tetap harus hengkang saat MU hanya meraih 11 poin setelah 9 pertandingan dan terpuruk di posisi ke-14 klasemen. Keputusan yang salah dari pimpinan “Setan Merah” menjerumuskan klub ke dalam krisis.
Ten Hag pergi, Ruben Amorim tiba. Pada tanggal 18 April, ahli strategi asal Portugal itu membantu MU menang dramatis 5-4 melawan Lyon di leg kedua perempat final Liga Europa – hasil yang membuat heboh di kalangan penggemar.
Banyak yang membandingkan kemenangan ini dengan kemenangan legendaris Liverpool 4-3 atas Dortmund pada tahun 2016 – pertandingan yang menandai era Jurgen Klopp di Anfield. Kini, MU berada di babak semifinal Liga Europa, satu-satunya ajang di mana mereka berpeluang meraih trofi.
Namun, di balik hal itu terdapat tanda-tanda yang mengkhawatirkan karena filosofi taktik Amorim tampaknya tidak sepenuhnya cocok dengan skuad MU saat ini. Kombinasi ide taktis dan personel mulai menunjukkan ketegangan – sesuatu yang terjadi pada Ten Hag di Manchester United.
“Tidak ada jaminan bahwa kemenangan Liga Europa akan membawa stabilitas jangka panjang,” komentar media Inggris.
“Sepak bola adalah olahraga masa kini, bukan masa lalu. Orang-orang akan cepat melupakan kemenangan Anda saat hasil akhirnya berhenti datang.”
Dalam perkembangan serupa, Ange Postecoglou dan Tottenham menghadapi kesempatan bersejarah untuk melaju jauh di Liga Europa. Bagi klub yang haus trofi seperti Spurs – yang belum mengangkat trofi selama 16 tahun sejak memenangkan Piala Liga pada tahun 2008 – ini bisa menjadi momen yang sangat penting.
Namun, masalah di Liga Premier menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan ahli strategi Australia tersebut. Performa yang naik turun, ditambah serangkaian cedera pada posisi-posisi kunci, terutama lini pertahanan, membuat Tottenham kesulitan mempertahankan posisi kompetitif di liga domestik.
Sejarah Tottenham menunjukkan bahwa gelar bukanlah tiket untuk kekebalan dari pemecatan. Juande Ramos membantu Spurs memenangkan Piala Liga 2008 tetapi pergi hanya beberapa bulan kemudian. Jose Mourinho juga dipecat tepat sebelum final Piala Carabao 2021, meskipun penampilan “Special One” mengesankan di turnamen piala.
Perang antara Emosi dan Akal Sehat
Di balik keputusan klub-klub besar terdapat pergulatan antara dua filosofi yang saling bertentangan dalam sepak bola modern: ledakan emosi yang dihadirkan oleh sebuah trofi dan stabilitas keuangan yang diinginkan para eksekutif.
“Para penggemar mendambakan momen-momen yang hebat dan kemenangan yang luar biasa. Di sisi lain, para manajer klub memprioritaskan stabilitas, kendali, dan keberlanjutan finansial,” kata seorang mantan eksekutif Liga Inggris.
Konflik ini menciptakan paradoks yang mengerikan: seorang pelatih dapat memenangkan gelar tetapi tetap dipecat jika ia gagal memenuhi harapan kinerja yang konsisten dan pengembangan berkelanjutan.
Kisah Ten Hag di United adalah peringatan yang jelas bagi semua klub besar: jangan biarkan kemenangan sementara mengaburkan masalah sistemik. Keputusan untuk memperpanjang kontrak Ten Hag setelah Piala FA tidak hanya merugikan United secara finansial, tetapi juga merusak musim.
Bagi Amorim dan Postecoglou, pelajarannya jelas: gelar Liga Europa, betapapun berharganya, bukanlah pengganti stabilitas dan pembangunan berkelanjutan. Mereka perlu melihat lebih jauh dari sekadar kemenangan, untuk menghindari jatuh ke dalam ‘perangkap Ten Hag’ yang dibayar oleh Manchester United.
Dalam sepak bola modern, kesuksesan tidak hanya diukur dari jumlah gelar tetapi juga dari perkembangan berkelanjutan, membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan. Ten Hag gagal melakukan itu di Manchester United, dan itu menjadi pelajaran bagi semua.
Saat musim hampir berakhir, pertanyaan besarnya adalah: bisakah Amorim dan Postecoglou menghindari kesalahan pendahulu mereka, atau akankah mereka menjadi korban perangkap “satu trofi tidak bisa menyelamatkan segalanya”?
Scr/Mashable