Kevin De Bruyne, Dulu Disia-siakan Chelsea Kini Jadi Ikon Manchester City

22.05.2025
Kevin De Bruyne, Dulu Disia-siakan Chelsea Kini Jadi Ikon Manchester City
Kevin De Bruyne, Dulu Disia-siakan Chelsea Kini Jadi Ikon Manchester City

Di dunia sepak bola modern, di mana para bintang kerap memamerkan diri di media sosial dan mengejar pusat perhatian, Kevin De Bruyne telah memilih jalan yang berbeda.

Pada akhir Oktober 2023, saat seluruh dunia sepak bola memusatkan perhatian pada upacara penghargaan Ballon d’Or, De Bruyne terlihat berdiri dengan tenang di pinggir lapangan sepak bola kecil di Cheshire, matanya memperhatikan putranya, Mason, berlatih. Tanpa kamera, tanpa lampu kilat, hanya seorang ayah biasa, meski kenyataannya dia merupakan salah satu gelandang terhebat sepanjang masa.

Itulah De Bruyne – seorang jenius yang tidak mudah dikenali, seorang legenda yang menolak tampil mencolok.

Sosok yang Tidak Menyukai Kebisingan

Ketika Manchester City diberi penghormatan di Théâtre du Châtelet di Paris setelah treble bersejarah mereka, De Bruyne menolak untuk hadir. Bukan karena kesombongan, tetapi semata-mata karena ia tidak melihat nilai dalam upacara-upacara yang menyolok.

Bagi De Bruyne, sepak bola bukan tentang trofi individu atau pidato panjang. Ia hadir di lapangan, dalam setiap umpan, setiap tembakan, dan terutama dalam hubungan dengan rekan setim.

Pertemuan tak disengaja antara De Bruyne dan Jon Bell – putra Colin Bell yang legendaris – di lapangan sepak bola kecil itu merupakan momen penuh makna. Dua generasi ikonik Man City saling bersilangan: satu telah menjadi legenda sejak tahun 1960-an dan 70-an, yang lainnya tengah menulis lembaran sejarah baru. Colin Bell dan Kevin De Bruyne, terpaut usia setengah abad tetapi dihubungkan oleh bakat luar biasa, dedikasi tak kenal lelah, dan perjuangan melawan cedera.

100 gol dari lini tengah – sebuah tonggak sejarah yang belum pernah dicapai oleh siapa pun di Man City sejak Bell. Tetapi angka itu, meski mengesankan, masih belum cukup untuk menggambarkan pengaruh De Bruyne sepenuhnya.

Di balik umpan-umpan tajam yang mampu menembus pertahanan lawan dan tembakan-tembakan jarak jauh yang menggelegar, terdapat seorang ahli taktik yang sempurna, seorang otak yang ahli dalam menyusun strategi di lapangan. De Bruyne tidak hanya membuat permainan indah; Dia membentuk cara Man City bermain sepak bola, menginspirasi generasi rekan setimnya.

Dan sekarang, kisah De Bruyne di Etihad akan segera berakhir. Bukan karena saya ingin. Saat menerima kabar bahwa Man City tak lagi percaya pada kemampuannya selama 12 bulan ke depan, De Bruyne pasti merasakan kepahitan seseorang yang mengira ia berhak menentukan nasibnya sendiri. Namun karena ia masih mengalami cedera yang tak kunjung sembuh, ia sekali lagi menerima takdirnya, berdamai dengan keputusannya, dan bersiap untuk awal yang baru.

“Sebagian jiwa tim akan hilang,” aku Bernardo Silva. Dan benar saja, Man City tidak hanya kehilangan gelandang hebat, tetapi juga ikon, jiwa.

Ikon Man City

Dari bocah yang ditolak Chelsea, yang dipertanyakan saat ia tiba di Manchester dengan biaya rekor, hingga pria yang mengemban ban kapten dan memimpin tim ke puncak kesuksesan – perjalanan De Bruyne adalah bukti kekuatan ketekunan dan kepercayaan diri.

Mereka yang menyaksikan final Liga Champions 2023, di mana De Bruyne berjuang meski tubuhnya tak lagi utuh, akan paham bahwa ia tidak hanya bermain sepak bola dengan kakinya. Dia bermain dengan sepenuh hatinya, dengan seluruh jiwanya, dan terkadang, dengan seluruh penderitaannya. Cedera hamstring pada musim 2021/22 mungkin telah mengurangi kecepatan dan staminanya, tetapi tidak dapat mengurangi keinginannya untuk berkontribusi, tidak dapat mengaburkan visi taktisnya yang unik.

Ketika De Bruyne meninggalkan Stadion Etihad setelah pertandingan melawan Bournemouth pada pagi hari tanggal 21 Mei, itu bukan sekadar perpisahan seorang pemain. Itu adalah akhir dari sebuah era, akhir dari babak hebat dalam sejarah Manchester City.

Tiket musiman seumur hidup, hadiah bertanda tangan – begitulah cara klub menunjukkan rasa terima kasih kepada putra yang mengabdikan seluruh masa mudanya untuk klub. Namun warisan sejati De Bruyne tidak terletak pada hadiah materi atau upacara perpisahan, melainkan dalam kenangan para penggemar, dalam DNA klub, dan dalam standar baru yang ia tetapkan.

Saat bola bergulir di Etihad musim depan, tidak akan ada lagi De Bruyne dengan umpan-umpan ajaibnya, tidak ada lagi mata tajam yang mengamati lapangan untuk mencari rekan setim. Tidak akan ada lagi sorak sorai “Oh, Kevin De Bruyne” yang bergema dari tribune. Namun legenda hidupnya akan tetap hidup, dan suatu hari nanti, ketika anak-anak bertanya tentang masa keemasan Man City, orang-orang akan berbicara tentang gelandang pirang asal Belgia yang bermain sepak bola seolah-olah itu adalah seni, yang membuat hal yang mustahil menjadi kenyataan.

Dalam dunia sepak bola yang penuh kemewahan dan glamor, Kevin De Bruyne mengingatkan kita bahwa kehebatan sejati tidak harus terlihat mencolok. Mungkin setenang tatapan seorang ayah terhadap putranya di lapangan kecil di Cheshire, tetapi bergema bagai guntur saat bola meninggalkan kakinya dan menghantam gawang lawan. Itulah Kevin De Bruyne – legenda bisu sepak bola dunia.

Scr/Mashable