Manny Pacquiao, Legenda dan Warisan Tinju Abadi

23.07.2025
Manny Pacquiao, Legenda dan Warisan Tinju Abadi
Manny Pacquiao, Legenda dan Warisan Tinju Abadi

Petinju legendaris asal Filipina, Manny Pacquiao baru saja melakukan comeback yang membuat seluruh dunia tinju angkat topi.

Di usia 46 tahun, ketika sebagian besar petinju sezamannya telah pensiun, “Pac-Man” terus melangkah ke atas ring untuk menantang dirinya sendiri. Hasil imbang melawan juara Mario Barrios tidak dapat membantunya merebut kembali gelar juara dunianya, tetapi penampilan impresif Pacquiao telah membuktikan segalanya: petinju Filipina ini masih menjadi simbol keberanian, kepahlawanan, dan inspirasi tak terbatas bagi dunia tinju.

Pertempuran Kemauan dan Pengalaman

Lawan Pacquiao, Mario Barrios, 16 tahun lebih muda darinya, dengan energi muda dan tinggi badan yang superior. Namun, petinju Meksiko itu tidak menunjukkan semangat seorang juara bertahan.

Sebaliknya, Pacquiao, dengan kelincahan dan gerakannya yang lincah, mendominasi banyak momen pertarungan. Dalam 8 ronde pertama, Pacquiao kerap mendekat, melontarkan pukulan-pukulan roundhouse khasnya, memaksa Barrios untuk mundur dan lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Tanpa skor tiga juri—115-113 untuk Barrios dan dua juri lainnya 114-114—penonton mungkin sudah menerima kemenangan sang legenda Filipina. Namun bagi Pacquiao, pertarungan ini bukan hanya tentang sabuk juara, melainkan tentang pembuktian bahwa di usia 46 tahun, ia masih mampu menampilkan performa terbaiknya.

Pacquiao telah mengukir sejarah dengan pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya: memenangkan sabuk juara di 8 kelas berat yang berbeda. Ia telah mengalahkan nama-nama besar seperti Marco Antonio Barrera, Erik Morales, Juan Manuel Márquez, Oscar De La Hoya, Ricky Hatton, Miguel Cotto… Setiap kemenangan Pacquiao bukan sekadar hasil, tetapi juga pertandingan yang penuh emosi dan dedikasi.

Meski kalah dari Mayweather dalam pertarungan “miliaran dolar” tahun 2015, Pacquiao tetap dianggap lebih berdedikasi kepada penonton. Ia bukan tipe petarung yang bertarung untuk menang dengan perhitungan. Sebaliknya, Pacquiao selalu menyerang dan mencari drama – yang membuatnya dicintai di seluruh dunia. Jika Mayweather adalah simbol taktik dan pertahanan, maka Pacquiao adalah simbol hati dan komitmen.

Bandingkan dengan Legenda

Bandingkan Pacquiao dengan nama-nama seperti Oscar De La Hoya atau Sugar Ray Leonard, ia mungkin bukan yang paling teknis, tetapi ia yang paling tangguh. Kembalinya Pacquiao di usia 46 tahun, tanpa gentar menghadapi petinju muda dan kuat, telah menegaskan perbedaan Pacquiao.

Misalnya, De La Hoya pensiun di usia 36, sementara Mayweather pensiun di usia 40 dengan pertandingan eksibisi yang penuh perhitungan. Pacquiao berbeda. Ia tetap memilih lawan yang sesungguhnya, tetap bertarung dengan semangat yang sama. Hal ini menjadikan pertandingan melawan Barrios bukan sekadar pertarungan, tetapi juga penegasan semangat Viking dari satu-satunya petinju Asia yang dianggap sebagai legenda tinju di generasinya.

Setelah undian, Pacquiao berkata: “Saya bertarung dengan pengalaman, taktik, dan tetap mempertahankan gaya menyerang saya karena itulah gaya saya. Saya ingin bertarung lagi. Misi saya adalah menginspirasi rakyat Filipina.”

Kata-kata itu bukan hanya pesan untuk para penggemar di rumah, tetapi juga untuk seluruh dunia tinju: legenda bukan tentang gelar, tetapi tentang sikap dan ketekunan.

Haruskah Pacquiao melanjutkan? Bagi banyak orang, pertarungan ini merupakan akhir yang tepat untuk karier legendarisnya. Namun, Pacquiao masih ingin mengangkat sabuk juara sekali lagi. Pertandingan ulang dengan Barrios akan menjadi perpisahan yang sempurna, di mana ia dapat mengakhiri kariernya dengan gayanya sendiri: garang, berani, dan menginspirasi.

Di usia 46 tahun, Pacquiao tak perlu membuktikan apa pun lagi. Namun, pertarungannya di MGM Grand menunjukkan bahwa terkadang, legendalah yang terus berjuang — bahkan ketika keadaan menjadi tak terkendali.

Scr/Mashable