Nasib Pilu Serafim Todorov: Orang Terakhir yang Pernah Kalahkan Floyd Mayweather di Dunia

03.12.2025
Nasib Pilu Serafim Todorov: Orang Terakhir yang Pernah Kalahkan Floyd Mayweather di Dunia
Nasib Pilu Serafim Todorov: Orang Terakhir yang Pernah Kalahkan Floyd Mayweather di Dunia

Nama Serafim Todorov mungkin tidak lagi akrab di telinga para pencinta tinju generasi sekarang. Berbeda dengan kilau popularitas Floyd Mayweather yang bersinar bersama rekor tak terkalahkannya.

Perjalanan hidup Todorov justru berjalan ke arah sebaliknya, sunyi, memudar, dan terlupakan. Padahal, di balik semua kejayaan Mayweather hari ini, ada satu fakta yang tidak pernah hilang dari sejarah: Todorov adalah manusia terakhir yang berhasil mengalahkan petinju asal Amerika Serikat itu di atas ring.

Mayweather dikenal luas sebagai salah satu petinju terbaik dunia. Karier profesionalnya dimulai pada 1996 saat melawan Roberto Apodaca, dan sejak saat itu ia tak pernah merasakan kekalahan dalam 50 pertandingan yang dijalaninya.

Catatan fenomenal tersebut termasuk 27 kemenangan melalui KO, sebuah prestasi yang mengukuhkannya sejajar dengan legenda seperti Mike Tyson dan Muhammad Ali.

Nama-nama besar pernah dipaksa tunduk kepadanya: Oscar De La Hoya, Ricky Hatton, Saul ‘Canelo’ Alvarez, hingga Manny Pacquiao. Bahkan saat kembali dari masa pensiun pada 2017, Mayweather masih sanggup membungkam Conor McGregor dalam duel bergengsi.

Namun, sebelum ia mencapai status tak tersentuh itu, ada satu masa ketika Mayweather hanyalah remaja berbakat berusia 19 tahun yang masih berjuang di level amatir.

Dan pada masa itulah nasib mempertemukannya dengan seorang petinju Bulgaria bernama Serafim Todorov, sosok yang kemudian menggoreskan satu-satunya noda kekalahan dalam catatan pertarungan sang legenda.

Pertemuan itu terjadi di Olimpiade 1996 di Atlanta. Todorov saat itu bukanlah nama sembarangan. Ia sudah dua kali menjuarai Kejuaraan Amatir Eropa dan datang dengan reputasi yang disegani.

Melawan Mayweather, baginya, bukan sesuatu yang dianggap istimewa. Dalam wawancara yang dilansir Mashable Indonesia dari NY Times, Todorov berkata, “Sejujurnya, saat itu saya tidak menganggap melawan Mayweather hal spesial. Toh saya sudah pernah menghadapi dan menang melawan petinju yang lebih kuat.”

Pertarungan keduanya berlangsung sengit. Todorov mengakui bahwa Mayweather sempat membuatnya terkejut pada dua ronde awal. Namun pengalaman dan instingnya membuat ia mampu membalikkan keadaan.

Ia menyerang balik, menghujani Mayweather dengan pukulan-pukulan cepat yang akhirnya membawanya pada kemenangan tipis 10-9 berdasarkan keputusan juri. Kemenangan itu sekaligus memupuskan harapan Mayweather meraih emas Olimpiade dan menjadi momen yang mendorongnya masuk lebih cepat ke dunia profesional.

Meski menang, perjalanan Todorov di Olimpiade berakhir pahit. Ia harus puas dengan medali perak setelah dikalahkan Somluck Kamsing dari Thailand di final. Namun kesempatan emas lain sebenarnya datang menghampirinya tak lama setelah turnamen selesai.

Dalam kesempatan yang ia ceritakan kembali, Todorov mengatakan bahwa ada orang-orang yang menawarkan kontrak menggiurkan setelah melihat kemampuan bertinjunya. Ia menyebutkan bahwa mereka tertarik dengan gaya bertarungnya dan fakta bahwa ia adalah petinju berkulit putih.

“Mereka melihat gaya saya di ring dan juga fakta bahwa saya berkulit putih. Tidak ada petinju berkulit putih seperti saya dan mereka ingin saya bertahan,” kenang Todorov.

Namun keputusan yang diambilnya justru menjadi awal dari kemundurannya. Ia menolak tawaran itu, sebuah keputusan yang di kemudian hari ia akui sangat ia sesalkan. Ia menuturkan bahwa kesempatan tersebut kemudian diberikan kepada Mayweather, yang setelahnya mengumpulkan kejayaan dan kekayaan dalam jumlah luar biasa.

Setelah kembali ke Bulgaria, hidup Todorov berubah drastic. Dunia tinju tak lagi menjadi tempatnya. Ia terpaksa menjalani kehidupan sederhana dan bekerja serabutan untuk menyambung hidup, mulai dari sopir hingga pekerja di pabrik pembuat sosis.

Rumah kecil dan kehidupan serba terbatas menjadi keseharian yang berbanding terbalik dengan potensi besar yang dulu ia miliki. Istrinya, Albena, bekerja sebagai kasir supermarket untuk membantu bertahan hidup.

Kabar mengenai kehidupan Todorov yang memprihatinkan akhirnya sampai ke telinga Mayweather. Dalam sebuah wawancara yang dilansir dari World Boxing News, Mayweather mengungkapkan keterkejutannya.

“Saya bingung mengapa ia tidak menjadi pelatih tinju, sebab saat kami bertarung, usianya lebih tua dari saya. Sekarang, saya hanya berharap ia mendapat yang terbaik,” ujar Mayweather

Ironisnya, dua nasib yang bertolak belakang ini lahir dari satu titik yang sama: ring Olimpiade 1996. Todorov memenangkan pertandingan, namun kehidupannya merosot.

Mayweather kalah, namun kekalahan itu justru menjadi bahan bakar untuk membangun salah satu karier tersukses dalam sejarah tinju dunia.

Hari ini, nama Serafim Todorov mungkin tidak sebesar lawannya dahulu, tetapi sejarah akan selalu mencatat satu hal: dialah sosok yang pernah membuat Mayweather merasakan pahitnya kekalahan, sesuatu yang tidak bisa diklaim oleh petinju manapun di level profesional.

Sebuah kemenangan yang ternyata tidak mengantar Todorov menuju kejayaan, namun tetap menjadi bagian penting dalam kisah perjalanan salah satu petinju terbesar sepanjang masa.

Scr/Mashable