Ajang Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) XVII 2025 di Jakarta diwarnai skandal besar usai pertandingan cabang olahraga tinju dibatalkan secara sepihak oleh penyelenggara.
Keputusan tersebut menimbulkan kecaman keras dari berbagai pihak dan memunculkan dugaan adanya praktik nepotisme serta penyalahgunaan wewenang di lingkup Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Pertandingan yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 3 Oktober 2025, di Gelanggang Renang Jakarta Utara (GRJU) itu seharusnya menjadi momen penting bagi 56 petinju dari berbagai provinsi.
Namun, rencana tersebut berantakan setelah Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (BAPOPSI) selaku penyelenggara secara tiba-tiba membatalkan agenda yang sudah disepakati dalam technical meeting.
Padahal, seluruh atlet dan perangkat pertandingan dari Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PERTINA) telah menyelesaikan tahapan wajib, seperti drawing, pemeriksaan kesehatan, dan penimbangan.
Pembatalan mendadak tersebut membuat banyak pihak mempertanyakan komitmen dan profesionalitas BAPOPSI sebagai penyelenggara utama POPNAS.
“Baru kali ini ada penyelenggara event yang memboikot keputusannya sendiri. Ada apa ini?” ujar pelatih senior asal Riau, Darman Hutauruk, yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk arogansi dan ketidaktaatan terhadap aturan olahraga nasional.
Salah satu penyebab yang disebut memperburuk situasi adalah tidak disiapkannya fasilitas dasar keselamatan pertandingan, seperti mobil ambulans, dokter, dan tenaga medis.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan regulasi PERTINA yang mewajibkan kelengkapan medis demi menjamin keselamatan atlet selama pertandingan berlangsung.
Menurut sejumlah pelatih dan pengurus provinsi PERTINA, langkah pembatalan itu menggambarkan sikap insubordinasi dan ketidakpatuhan terhadap keputusan bersama hasil technical meeting.
“Hari ini baru ada kejadian bahwa hasil technical meeting diboikot sendiri oleh pemerintah,” ungkap Ketua Pengprov PERTINA Sumatera Utara, Sabam Manalu, yang menilai insiden ini mencoreng marwah olahraga nasional.
Kritik senada datang dari Sri Syahril, Sekretaris Pengprov PERTINA Sulawesi Selatan. Ia menduga adanya campur tangan dari pihak pusat yang mempengaruhi keputusan penyelenggara.
“Pemerintah dalam hal ini penyelenggara POPNAS sudah melakukan insubkoordinasi dan pelanggaran ketentuan. Apalagi sampai Kemenpora dan BAPOPSI menekan Dispora Provinsi. Tidak boleh pemerintah mengintervensi olahraga,” tegasnya.
Sejumlah sumber internal PERTINA menduga bahwa aktor utama di balik pembatalan tersebut adalah Surono, Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora. Dugaan itu menguat setelah beredar informasi bahwa Surono berupaya memaksakan penggunaan wasit dan hakim dari organisasi lain yang tidak memiliki lisensi resmi dari PERTINA.
Ketika para peserta POPNAS menolak kehadiran perangkat pertandingan yang dianggap tidak kompeten, Surono disebut menginstruksikan jajarannya, termasuk BAPOPSI, untuk membatalkan pertandingan.
Tindakan tersebut kemudian menuai reaksi keras dari komunitas tinju nasional, yang menilai keputusan itu sebagai bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan merugikan banyak pihak.
Akibat pembatalan ini, atlet, pelatih, serta ofisial mengalami kerugian secara materiil maupun nonmateriil. Banyak pihak menuntut agar BAPOPSI bertanggung jawab penuh atas kegagalan tersebut, termasuk hak-hak para atlet yang telah berjuang mempersiapkan diri.
Selain mencoreng reputasi POPNAS, skandal ini juga membuka dugaan baru mengenai penyalahgunaan anggaran di lingkungan Deputi 3 Kemenpora.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) pun didesak untuk segera mengaudit dan memeriksa Surono terkait potensi pelanggaran dalam penggunaan dana, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan Seleksi Nasional (Seleknas) Kejuaraan Tinju Piala Menpora pada Juli 2025.
Bagi banyak pemerhati olahraga, kasus ini bukan sekadar pembatalan pertandingan, tetapi tanda menurunnya integritas sistem pembinaan olahraga nasional.
Dugaan nepotisme dalam pemilihan perangkat pertandingan, intervensi pemerintah terhadap keputusan teknis olahraga, serta indikasi penyelewengan anggaran menjadi masalah serius yang harus segera diusut tuntas.
Masyarakat tinju Indonesia kini menuntut transparansi dan penegakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat. Mereka menilai hanya dengan langkah hukum yang tegas, kepercayaan terhadap Kemenpora dan dunia olahraga pelajar dapat dipulihkan.
Insiden boikot cabang tinju POPNAS 2025 pun menjadi peringatan keras bahwa pembinaan olahraga di Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar: intervensi politik, arogansi jabatan, dan lemahnya komitmen terhadap sportivitas.
Jika tak segera dibenahi, hal ini dikhawatirkan akan merusak semangat para atlet muda yang menjadi harapan masa depan olahraga nasional.
Scr/Mashable










