Para ilmuwan telah menggunakan pengorbit dan penjelajah untuk menemukan aliran sungai kering, danau, serta lembah di Mars yang menunjukkan masa lalunya yang berair. Namun, armada robot mereka masih kesulitan membuktikan bahwa Planet Merah pernah memiliki samudra yang sebenarnya.
Sebuah studi baru yang memanfaatkan data dari penjelajah China, yang kini sudah tidak berfungsi, memberikan salah satu bukti terkuat sejauh ini tentang keberadaan badan air besar di masa lalu, yang bukan sekadar danau sementara yang terbentuk dari es yang mencair, tetapi sebuah laut yang jauh lebih luas.
Temuan ini mengungkapkan apa yang tampak sebagai garis pantai kuno dari samudra yang mungkin pernah menutupi sekitar sepertiga permukaan planet tersebut.
Makalah baru yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini mengusulkan bahwa tetangga ruang angkasa Bumi ini pernah mengalami periode hangat dan basah yang berlangsung selama puluhan juta tahun.
Lingkungan yang mirip dengan Bumi ini tampaknya meningkatkan kemungkinan bahwa kehidupan pernah ada di sana. Meskipun tidak ada yang tahu apakah Mars pernah dihuni, keberadaan samudra menunjukkan bahwa lokasi ini setidaknya pernah layak huni, kata Benjamin Cardinas, ahli geologi sedimen di Penn State dan salah satu penulis studi tersebut.
“Para ilmuwan yang mempelajari asal-usul kehidupan benar-benar berpikir bahwa salah satu tempat utama di mana kehidupan mungkin bermula adalah di sepanjang pantai, tidak jauh berbeda dari apa yang kami yakini telah kami lihat di sini,” kata Cardinas kepada Mashable. “Ada perairan dangkal, udara, dan daratan antarmuka inilah yang menurut para ilmuwan memungkinkan kehidupan pertama kali muncul di Bumi.”

Data terbaru ini berasal dari penjelajah Zhurong, bagian dari misi Tianwen-1 China, yang mendarat di Mars pada Mei 2021. Penjelajah beroda enam ini dikirim untuk menyelidiki Utopia Planitia, sebuah wilayah yang jauh dari lokasi penjelajah Curiosity dan Perseverance milik NASA. Tempat ini adalah dataran berbatu yang sama di mana pendarat Viking 2 milik AS mendarat pada tahun 1976.
Kolaborasi antara peneliti China dan AS sering kali sulit dilakukan karena Wolf Amendment, undang-undang federal yang diberlakukan pada 2011. Aturan ini melarang NASA bekerja sama dengan China karena kekhawatiran bahwa program luar angkasa China dapat memanfaatkan teknologi AS untuk meningkatkan persenjataannya.
Namun, beberapa ilmuwan AS tetap berkontribusi dalam studi ini tanpa menerima dana dari pemerintah federal. Sementara itu, China membuat data penjelajahnya tersedia untuk publik—syarat yang diperlukan untuk menerbitkan penelitian tersebut.
Berdasarkan citra satelit, para ilmuwan sebelumnya telah berhipotesis bahwa Utopia Planitia, wilayah di belahan utara Mars, pernah mengandung air. Namun, gagasan ini masih menjadi perdebatan karena mereka belum memiliki bukti bawah tanah untuk mendukungnya, hingga kini.
Fitur-fitur yang menyerupai garis pantai ditemukan pada ketinggian yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk menentukan apakah air yang membentuknya atau faktor lain, seperti aliran lava, bukit pasir yang tertiup angin, atau sungai kuno.
Zhurong tidak bertahan melewati musim dingin Mars seperti yang direncanakan pada Desember 2022. Namun, sebelum akhirnya berhenti beroperasi, ia telah menjelajahi sekitar 1,6 kilometer di Planet Merah selama satu tahun.

Selama waktu itu, penjelajah Zhurong mengumpulkan banyak data, termasuk dari instrumen khusus bernama ground-penetrating radar (radar penembus tanah).
Alat ini bekerja dengan mengirimkan gelombang radio ke bawah permukaan dan mengukur sinyal yang dipantulkan kembali. Teknologi ini membantu para ilmuwan mengidentifikasi dan memetakan berbagai lapisan batuan serta tanah di bawah permukaan.
Data yang dikumpulkan mengungkapkan kemiringan khas material bawah tanah, mirip dengan cara ombak membentuk sedimen di sepanjang pantai Bumi. Pantai kuno ini membentang sekitar 1.300 meter (4.300 kaki), hampir 1,6 kilometer, dan terkubur di kedalaman 9 hingga 35 meter di bawah permukaan.
“Butuh waktu lama untuk menumpuk lebih dari satu kilometer endapan pantai di Bumi—ratusan ribu hingga jutaan tahun,” kata Michael Manga, ahli geosains dari UC Berkeley dan salah satu penulis studi, kepada Mashable. “Jadi, jika kita berasumsi bahwa proses yang terjadi di Bumi juga terjadi di Mars dengan kecepatan yang kurang lebih sama, itu berarti samudra tersebut bertahan di sana untuk waktu yang cukup lama.”
Dari data baru ini, para ilmuwan dapat menyimpulkan bahwa Mars dulunya memiliki siklus air yang lebih besar. Agar pantai bisa bergeser hampir 1,6 kilometer ke dalam badan air, harus ada pasang surut, air yang tergenang, serta sungai yang mengalirkan sedimen ke samudra selama periode yang panjang.

Manga, yang sejak lama meyakini hipotesis tentang samudra di Mars, merasa bahwa data dari Zhurong sangat memuaskan.
“Hanya fakta bahwa kita bisa pergi ke Mars dengan sebuah penjelajah, bergerak melintasi permukaannya, dan melihat ke bawah tanah saja sudah membuat saya takjub,” katanya. “Tapi kemudian melihat sesuatu yang memiliki struktur yang jelas dan dalam hal ini, pola yang serupa dalam skala luas benar-benar sangat menarik.”
Penjelajah Perseverance juga mendeteksi lapisan bawah tanah miring di lokasi pendaratannya di Kawah Jezero, yang dulunya merupakan dasar danau. Namun, lapisan tersebut bisa terbentuk akibat air atau magma.
Perbedaan utama antara data radar dari kedua penjelajah ini adalah bahwa material di Jezero memiliki “permisivitas tinggi”, yang berarti dapat menyimpan lebih banyak muatan listrik. Ini bisa mengindikasikan keberadaan batuan vulkanik.
Sementara itu, material di Utopia Planitia memiliki “permisivitas rendah”, yang kemungkinan terdiri dari campuran pasir dan kerikil, mirip dengan yang ditemukan di banyak garis pantai di Bumi.
Perbedaan temuan antara Zhurong dan Perseverance mengingatkan kita bahwa lingkungan di Mars bisa sangat bervariasi secara global. Perseverance berada sekitar 4.800 kilometer dari Zhurong, lebih jauh dibanding jarak antara New York dan Los Angeles.
Beberapa bulan lalu, penelitian tentang mineral kaya karbon di Kawah Gale, tempat Curiosity menjelajah sekitar 3.200 kilometer dari Zhurong, menemukan bahwa wilayah tersebut kemungkinan pernah memiliki kondisi yang dingin dan asin, cukup tidak ramah bagi kehidupan untuk berkembang, setidaknya di permukaan.

“Bagi saya, tidak terlalu mengejutkan bahwa jika kita melihat berbagai bagian Mars, kita akan menemukan bahwa ceritanya lebih rumit,” kata Cardinas. “Wilayah-wilayah di Mars mungkin memiliki kondisi yang cukup berbeda pada waktu yang berbeda.”
Meskipun penelitian baru ini membantu mengonfirmasi bahwa Mars pernah memiliki samudra di permukaannya, temuan ini juga memunculkan pertanyaan baru, terutama, ke mana perginya semua air itu?
Apakah air tersebut membeku di bawah permukaan, terkumpul menjadi lapisan es di kutub, atau menguap ke luar angkasa? Jawaban dari pertanyaan ini bisa membantu para ilmuwan memahami bagaimana planet berkembang dan apakah perubahan serupa bisa terjadi di Bumi.
Para peneliti juga mungkin ingin lebih mempertimbangkan bagaimana gravitasi memengaruhi pembentukan pantai, kata Manga. Gravitasi di Mars 62 persen lebih lemah dibandingkan di Bumi, dan para ilmuwan belum sepenuhnya memahami apakah perbedaan ini bisa mengubah cara pantai terbentuk secara fundamental.
Kekurangan dalam pengetahuan ini bisa berarti bahwa tim mungkin salah menafsirkan fitur garis pantai. Namun, dari semua kemungkinan penjelasan, para kolaborator merasa yakin bahwa keberadaan samudra yang luas dan stabil adalah skenario yang paling masuk akal.
“Akan sangat menarik jika ternyata Mars memang pernah memiliki samudra besar, tetapi tidak pernah menciptakan kehidupan,” kata Manga. “Itu akan memberi kita wawasan tentang betapa sulitnya proses awal kehidupan untuk terjadi.”
Scr/(mashable)