Jika Latih Klub Lain Mungkin Ruben Amorim Dipecat, tapi Manchester United Sudah Terjebak dengan Pilihannya

01.10.2025
Jika Latih Klub Lain Mungkin Ruben Amorim Dipecat, tapi Manchester United Sudah Terjebak dengan Pilihannya
Jika Latih Klub Lain Mungkin Ruben Amorim Dipecat, tapi Manchester United Sudah Terjebak dengan Pilihannya

Ruben Amorim sudah berjanji membawa filosofi baru ke Manchester United, tetapi setelah hampir setahun, yang tersisa hanyalah kekecewaan dan kegagalan yang terulang seperti naskah lama.

Manchester United kembali menjadi bahan tertawaan sepak bola Inggris. Kekalahan 1-3 dari Brentford pada pekan ke-6 Liga Inggris pada, Sabtu 27 September 2025 malam WIB, bukan sekadar kekalahan biasa, tetapi juga cerminan dari semua masalah mendalam di bawah asuhan Ruben Amori. Tim yang lelah, filosofi yang dipaksakan, dan pelatih yang mulai kehilangan kepercayaan sekaligus kesabaran para penggemar.

Tragedi dari Titik Penalti

Momen Bruno Fernandes berdiri di tanda 11 menit, dengan bola di tangan, menunggu VAR mengakhiri “masa-masa sulitnya”, sudah menunjukkan segalanya. Tertinggal tiga menit, pergantian pemain di tengah pertandingan, lalu tembakan lemah yang ditepis Caoimhín Kelleher – gol yang gagal itu tak hanya memupus harapan “Setan Merah”, tetapi juga memperlihatkan rapuhnya mentalitas tim.

Bruno yang sekarang bukan lagi Bruno yang dingin dan siap sedia seperti dulu. Bruno yang kini telah terkikis oleh “versi Amorim”, tergeser ke posisi gelandang pivot hanya karena ia satu-satunya yang bisa bermain di ruang sempit. Hasilnya: gol-golnya menipis, kepercayaan diri pun sirna.

Ketika tiba di Old Trafford, Ruben Amorim dipuji sebagai seorang reformis, seorang “petualang menawan” dengan karisma dan filosofi yang segar. Namun, hampir setahun kemudian, yang ia lakukan hanyalah mengubah tim yang sudah tidak stabil menjadi tim yang mengerikan seperti dirinya.

Manchester United tidak lagi buruk karena “hantu di balik tembok” atau warisan budaya yang busuk. Kini mereka buruk dengan cara “Amorim”: memaksakan filosofi 3-4-2-1 yang kaku, terlepas dari pemain yang salah, terlepas dari kenyataan bahwa Liga Primer bukanlah tempat untuk menguji model laboratorium.

Apa yang disebut “bola Ruben” kini hanya sebuah pertunjukan pertapaan: sistem tertutup, pemain terikat dalam blok taktis tanpa jiwa, lambat memasuki permainan, bermain sepak bola seolah-olah “digantung dalam keadaan memuat data”.

Melawan Brentford, umpan panjang sederhana sudah cukup untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan. Igor Thiago mencetak gol, dan seisi stadion Gtech menyaksikan Harry Maguire kesulitan dalam peran penyerang yang tak pernah ia kuasai. Patrick Dorgu berlari seperti sedang berlari lintas alam di dekat pertandingan sepak bola. Para bek sayap maju tanpa ampun, pertahanan rapuh, Benjamin Sesko mencetak gol hiburan, tetapi Brentford selalu memegang kendali.

Usai pertandingan, Amorim tak melupakan “lagu abadi”: menyalahkan para pemain, wasit, dan lawan karena terlalu agresif. Namun, kebenarannya jelas bagi semua orang: kekalahan ini meninggalkan jejak Amorim dari awal hingga akhir.

Seorang Pelatih Terjebak di Kandangnya Sendiri

Ada bayangan yang menghantui: Amorim berdiri di halaman, melambaikan tangannya dengan liar, berjongkok, mondar-mandir seperti orang putus asa. Dinamisme awal, senyum percaya diri di hari debutnya kini telah lenyap, digantikan oleh wajah tegang, tatapan mata seseorang yang tak lagi mampu mengendalikan situasi.

Ia mencoba membela sistem layaknya sebuah agama, sementara para pemain kebingungan dan kehilangan semangat. Manchester United memulai dengan lambat, bermain tanpa jiwa, dan segera runtuh. Semua yang dilakukan Amorim sungguh ironis: sebuah tim yang secara klinis sudah mati, tetapi masih mencoba melakukan beberapa “set piece taktis” yang aneh seolah-olah itu bisa menyelamatkan kekalahan.

Bagian terpahitnya: di klub normal mana pun, Ruben Amorim pasti sudah kehilangan pekerjaannya. Tapi ini Manchester United – klub yang telah berganti manajer terlalu sering dalam satu dekade terakhir, dan kini terjebak dalam ketidakmampuannya sendiri. Mereka menerima Amorim, karena memecatnya lagi akan menjadi pengakuan kegagalan dalam strategi jangka panjang mereka.

Maka Manchester United terjebak dalam lingkaran setan: tim yang tak kunjung berkembang, manajer yang kaku, gaya bermain yang membuat suporter lelah. Kemenangan 3-1 atas Brentford hanyalah cuplikan. Minggu depan, “Ruben-ball” akan muncul lagi, kesalahan yang sama, ketidakberjiwaan yang sama, bagaikan drama yang tak pernah berakhir.

Manchester United kini bagaikan sirkus yang lelah, di mana penonton sudah tahu skenarionya, tetapi tetap harus duduk dan menonton. Ruben Amorim telah mengubah “Setan Merah” menjadi versi yang tak bernyawa, tak berekspresi, dan tak bersemangat. Dan pertanyaan yang paling menghantui tetap ada: Berapa lama Manchester United akan bertahan?

Scr/Mashable