Klub Serie A Liga Italia, Juventus saat ini sedang menghadapi salah satu periode tersulit dalam sejarah terkini mereka.
Setelah kekalahan menyakitkan dari Empoli pada perempat final Coppa Italia pada, Kamis 27 Februari, tim asuhan Thiago Motta tidak hanya tersingkir dari turnamen penting tetapi juga terjerumus dalam krisis serius, karena kritik terhadap gaya bermain dan hasil mereka semakin sengit. Masa depan Motta kini dipertanyakan, dan tekanan dari penggemar dan manajemen Juventus sangat membebani pundaknya.
Kehilangan Muka di Hadapan Empoli
Jika berbicara tentang musim Juventus di kompetisi piala, “bencana” mungkin adalah kata yang paling tepat. Diharapkan melaju jauh di Coppa Italia, Juventus menderita kekalahan mengejutkan dari Empoli di perempat final setelah bermain imbang 1-1 dan kalah adu penalti 2-4.
Ini adalah kekalahan yang tidak dapat diterima, terutama ketika tim Turin turun ke lapangan dengan skuad terkuatnya dan lawan mereka Empoli membiarkan banyak pemain kunci beristirahat. Pertandingan ini tidak hanya menyingkirkan Juventus tetapi juga menyingkapkan kelemahan dalam gaya bermain dan mentalitas para pemain, membuat suasana di ruang ganti dan tribun menjadi lebih tegang dari sebelumnya.
Kekalahan ini bukan satu-satunya insiden musim ini. Sebelum itu, Juventus tersingkir di babak play-off Liga Champions oleh PSV Eindhoven dan kalah di semifinal Piala Super Italia dari AC Milan.
Citra Si Nyonya Tua yang tak mampu menaklukkan lawan-lawannya di turnamen piala menjadi sebuah kekecewaan besar, terutama ketika mereka punya potensi dan skuad yang jauh lebih kuat dibanding tim yang mereka kalahkan. Pertanyaan besarnya adalah apakah Juventus dapat menyelamatkan musim ini?
Masa depan Thiago Motta di Juventus sekarang sangat tidak pasti. Ditunjuk dengan harapan dapat membantu tim mengembalikan citra Juventus yang kuat dan stabil, pelatih asal Italia itu kini menghadapi tekanan yang sangat besar.
Setelah kekalahan melawan Empoli, Motta tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dalam wawancara pascapertandingan, ia mengaku merasa “malu” dan mengkritik para pemainnya atas sikap mereka.
“Kami bisa saja salah dalam segala hal, tetapi tidak dalam sikap. Saya merasa malu dan saya harap para pemain juga merasakan hal yang sama. Ini adalah pertandingan yang harus kami menangkan tanpa penalti,” ungkap Motta.
Pelatih berusia 40 tahun itu tak segan mengkritik para pemainnya yang dinilai tak bertanggung jawab dan kurang menunjukkan profesionalitas. “Kami bermain melawan tim Empoli yang mengistirahatkan banyak pemain kunci. Tidak ada yang bisa kami lakukan. Yang tersisa hanyalah meminta maaf kepada para penggemar, klub, dan sejarah Juventus. Kami telah mencapai titik terendah,” tambah Motta.
Ini adalah kata-kata yang menyakitkan dan pengakuan kegagalan yang pahit dari seorang pelatih yang terpojok.
Kritik Terhadap Pemain Merajalela
Meski tanggung jawab utama berada di tangan Thiago Motta, ia juga tak segan mengkritik para pemain di tim utama. Nama-nama seperti Koopmeiners, pemain yang direkrut Juventus dengan harga 60 juta euro, tetapi sejauh ini belum mampu membuktikan kemampuannya, juga paling banyak dikritik.
Bintang-bintang seperti Nico Gonzalez dan Vlahovic juga tak luput dari kritikan Motta, terutama saat Vlahovic kehilangan posisi starternya kepada Kolo Muani yang baru saja bergabung dengan tim.
Dengan kurangnya kreativitas dan kebuntuan di ruang ganti dan di lapangan, Juventus telah menjadi tim yang buruk musim ini. Kritik dari media semakin meningkatkan tekanan pada Motta.
Surat kabar olahraga Italia tak henti-hentinya mengkritik Juventus dan pelatih mereka. La Gazzetta dello Sport menggunakan kata “memalukan”, sementara Corriere dello Sport menekankan kata “Empolazo” untuk menggambarkan kekalahan yang menyakitkan ini, dan Tuttosport secara blak-blakan menyebutnya “Bencana Motta”. Situasinya menjadi semakin rumit ketika La Gazzetta mengatakan bahwa apa yang terjadi melawan Empoli merupakan “noda yang tak terhapuskan” pada masa jabatan Motta di Juventus.
Dengan target utama untuk meraih gelar juara yang hampir berakhir, satu-satunya tujuan Juventus saat ini adalah lolos ke Liga Champions musim depan melalui posisi tinggi di Serie A. Namun, dengan performa mereka yang tidak stabil saat ini dan jadwal yang padat, peluang bagi “Si Nyonya Tua” untuk masuk ke 4 besar tidaklah mudah. Situasi saat ini tidak lain adalah perlombaan hidup-mati bagi Juventus dan pelatih Motta.
Dewan direksi Juventus saat ini sedang mempertimbangkan dan memantau situasi dengan cermat. Ada ulasan mengenai gaya permainan tim dan hasil buruk yang harus ditanggung tim.
Ketidakkonsistenan dalam pertandingan penting membuat Motta sulit mempertahankan posisinya jika ia tidak meningkatkan penampilannya dalam beberapa minggu mendatang. Oleh karena itu, kemungkinan pergantian pelatih tidak dapat dihindari jika situasinya tidak membaik.
Juventus berada di persimpangan penting musim ini. Satu hal yang pasti, musim ini akan menentukan masa depan tim dan pelatih Thiago Motta.
Jika Juventus tidak dapat mempertahankan performa dan hasil stabilnya di Serie A, kemungkinan pergantian pelatih sangat tinggi. Musim yang gagal total dapat berakhir dengan perubahan personel yang besar, tidak hanya pada staf pelatih tetapi juga dalam skuad.
Dengan situasi saat ini, Juventus harus bertekad untuk segera berubah jika ingin menyelamatkan musim. Ini akan dimulai dengan meningkatkan gaya bermain dan semangat juang para pemain.
Semua mata akan tertuju pada Motta dan para pemainnya dalam beberapa putaran Serie A berikutnya. Pertanyaannya adalah apakah Juventus dapat bangkit dari keterpurukan ini dan terus bersaing untuk mendapatkan tempat di Liga Champions musim depan? Waktu yang akan menjawabnya.
Scr/(mashable)