Sejak El Clasico, Real Madrid tak pernah bisa tenang. Bukan karena kemenangan, melainkan karena “api” yang berkobar di dalam diri: Vinicius Jr vs. Xabi Alonso.
Ketegangan mencapai titik didih, dan untuk pertama kalinya, masa depan bintang Brasil di Bernabéu benar-benar diragukan.
Tidak Ada Pemain yang Lebih Besar dari Klub
Menit ke-72 El Clasico. Papan pergantian pemain terbuka, dan angka 7 muncul. “Saya? Saya, Pak?” teriak Vinicius, lalu menatap Xabi Alonso dengan marah. Ia meninggalkan lapangan dengan geram, berbicara kasar dalam bahasa Portugis, dan langsung menuju terowongan. Dari bangku cadangan, kata-kata terakhirnya adalah: “Selalu saya! Saya pergi! Saya pergi, lebih baik pergi.”
Itu lebih dari sekadar reaksi spontan. Itu adalah titik puncak dalam konflik yang telah bergolak selama berbulan-bulan.
Reaksi keras terhadap Vinicius telah mengguncang Real Madrid. Menurut Marca, manajemen klub sepenuhnya mendukung Xabi Alonso – apa pun keputusannya. Mengganti Vinicius di El Clásico dianggap “sepenuhnya tepat dari sudut pandang teknis”, dan Real Madrid tidak senang dengan citra yang ditunjukkan pemain Brasil itu. Kasus serupa telah dihukum secara internal di masa lalu.
Di sisi lain, Vinicius merasa dikhianati. Ia yakin telah melakukan semua yang diminta pelatihnya – lebih banyak bertahan, memberi ruang saat menyerang – tetapi sebagai balasannya, ia tidak dipercaya. Dengan dua gelar Liga Champions dan satu penghargaan The Best, Vinicius merasa dirinya pantas dihormati. Namun, Xabi Alonso, di matanya, tampaknya berpikir sebaliknya.
Faktanya, konflik ini tidak muncul setelah El Clasico. Pada 22 September, di pusat latihan Valdebebas, sebuah pertemuan “rahasia” antara kedua belah pihak terjadi – ketika Vinicius mengungkapkan kebingungannya karena terus-menerus diganti atau di bangku cadangan. Ia bahkan mengatakan bahwa ia tidak akan menutup kemungkinan untuk hengkang di bursa transfer musim dingin jika situasinya tidak berubah.
Pertemuan itu sempat mendinginkan suasana. Namun, “kedamaian” itu hanya bertahan beberapa minggu. Vini kembali dicadangkan saat melawan Getafe, lalu digantikan lagi di tengah penampilan terbaiknya di El Clasico. Rasa frustrasi yang menumpuk telah mencapai batasnya.
Sejauh ini, Vinicius telah digantikan atau dibangkucadangkan dalam 10/13 pertandingan musim ini, dan hanya bermain penuh 90 menit sebanyak 3 kali – jumlah yang tidak dapat diterima untuk seorang pemain yang dulunya merupakan simbol penyerang Real Madrid.
Ketika Masa Depan Menjadi Tidak Pasti
Kontrak Vinicius berlaku hingga 2027, tetapi perpanjangan kontraknya – yang telah dibahas sejak awal tahun – masih belum jelas. Sebuah sumber yang dekat dengan klub mengungkapkan: “Vinicius masih mencintai Real, tetapi dia tidak bisa terus-menerus hidup dengan perasaan diremehkan.”
Pemain Brasil itu kini yakin masalahnya bukan pada klub, melainkan pada Xabi Alonso, yang tampaknya tidak menyukai gaya bermain emosionalnya. Jika situasi tidak membaik, musim panas 2026 bisa menjadi titik balik. Vinicius akan memasuki tahun terakhir kontraknya, dan Real Madrid harus memilih: menjualnya atau berisiko kehilangannya secara cuma-cuma.
Bagi Xabi Alonso, ini adalah ujian pertama bagi kemampuan manajerialnya. Ia mendapat dukungan penuh dari Florentino Perez, yang yakin Real Madrid membutuhkan tim yang lebih disiplin dan tidak terlalu bergantung pada emosi pribadi. Namun, bagi Vinicius, yang telah membawa Real Madrid melewati masa-masa sulit, ini merupakan pukulan bagi harga dirinya.
Di El Clasico, Vinicius yakin ia masih punya 20 menit untuk membuat perbedaan, membuktikan kemampuannya. Digantikan saat ia bermain bagus ibarat berkata: “Kamu bukan lagi pusat perhatian”. Dan bagi bintang seperti Vinicius, hal itu tak mudah diterima.
El Clasico berakhir dengan kemenangan bagi Real Madrid, tetapi juga memicu keretakan di ruang ganti. Di Valdebebas, mereka mengatakan Xabi adalah perwujudan akal sehat – dan Vinicius, perwujudan naluri. Keduanya penting, tetapi ketika akal sehat mencoba memadamkan naluri, api justru berkobar lebih hebat lagi.
Untuk saat ini, Real Madrid berada di pihak pelatih. Namun, jika Vinicius merasa tak lagi dihargai, kisah “berapi-api” ini bisa segera berubah menjadi ledakan dahsyat – tepat di Bernabéu, bekas kandangnya.
Scr/Mashable










